Di bulan selain Ramadan, penderita penyakit leluasa minum obat sesuai dosis yang dianjurkan dokter. Tapi, di bulan puasa, dengan waktu makan minum yang lebih pendek, acara minum obat membutuhkan strategi tersendiri.
Ya, bila kondisi fisik memungkinkan atau setelah berkonsultasi dengan dokter, penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular (hipertensi, jantung) diabetes mellitus, lever, ginjal, rematik, obesitas. flu, batuk, dan lain-lain, diperbolehkan menjalankan ibadah puasa.
Lagi pula, pengaruh puasa terhadap pemeliharaan kesehatan penderita penyakit seperti kardiovaskular, diabetes mellitus, lever, ginjal, rematik, dan obesitas, umumnya positif. Pasalnya, mereka dapat melakukan diet lebih baik dan mengistirahatkan organ saluran cerna dari kemampuan bekerja lebih keras. Berpuasa akan membatasi penderita yang harus berdiet untuk mengurangi konsumsi makanan dan minuman yang merupakan kontraindikasi penyakitnya. Apalagi, saat berpuasa, makanan dan minuman yang dikonsumsi cenderung mengandung zat gizi atau nutrisi yang lebih sempurna. baik dari segi karbohidrat, protein, lemak. vitamin, mineral, maupun air.
Bagaimanapun, sesungguhnya berpuasa tidak menyebabkan pelakunya mengalami defisiensi atau kekurangan gizi, karena nutrisi yang masuk lewat makanan dan minuman tetap diterima tubuh saat berpuasa. Hanya, frekuensi kegiatan makan minum berkurang, atau lebih tepat lagi, jadwal makan dan minum berpindah, yakni mulai magrib hingga imsak.
Lalu. bagaimanakah pola mengkonsumsi obat selama menjalankan ibadah puasa bagi mereka yang sedang sakit? Kalau minum obatnya 3-4 kali, apakah jatah untuk siang boleh dirangkap saat buka puasa dan saat sahur, atau dosisnya sama tapi frekuensinya cukup dua kali?
Kedua cara tadi tak dapat dibenarkan. Pasalnya, menjalankan dosis dobel tanpa konsultasi atau pengetahuan yang cukup mengenai obat yang dikonsumsi bisa mengundang efek yang fatal bagi kesehatan. Sedangkan kalau dosisnya kurang, efektivitas obat kurang maksimal sehingga si penyakit akan sembuh lebih lama.
Sebaliknya, selama berpuasa. umumnya kepatuhan penderita dalam menggunakan obat menurun. Agar pengguna obat tetap mendapatkan manfaat yang optimal selama berpuasa, maka simaklah trik berikut ini.
Konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter atau apoteker, apakah bila dosis obatnya memungkinkan untuk diduakalikan (dobel)? Kalau mungkin, maka itu boleh saja dilakukan dengan menduakalikan dosis (2 tablet/kapsul/sendok). Atau pilihlah obat dengan kekuatan dua kalinya (forte). Misalnya:
- Antibiotik (ampisitin, amoksilin, eritroinisin, spirmnisin, tetrasiklin, griseofulvin, d11).
- Obat TBC, seperti INH sehari 3-4 x 100 mg dapat saja diganti dengan INH tablet 300 atau 400 mg sehari 1 kali.
- Pilih vitamin dan mineral dosis tinggi, yakni 1-2 kali sehari.
Kalau dosis tak dapat diduakalikan, maka pilihlah bentuk terkontrol/retard dengan frekuensi pemakaiannya cukup 1-2 kali sehari, misalnya obat asma (teofilin, salbutamol), obat hipertensi (nifedipin, verapamil, diltiazem), obat rematik/analgetik (natrium diklofenak, ketoprofen, asam triaprofenat), obat epilepsi (karbamazepin).
Alternatif lainnya, pilihlah obat dengan bahan aktif yang berbeda namun khasiat obatnya masih segolongan. Tentu saja, penggantian ini perlu konsultasi dengan dokter. Atau meskipun ini masih mengundang pro-kontra - kalau mau, pilih obat dengan rute bukan oral seperti transdermal (sistematik yang obatnya dapat menembus kulit), topikal, tetes mata, atau tetes telinga. Obat-obat ini dapat diberikan selama siang hari (sejak subuh hingga magrib). Untuk obat rematik bisa digunakan yang berbentuk salep, demikian pula untuk obat angina pektoris atau infeksi jamur pada kulit.
Jangan lupa untuk selalu memperhatikan waktu penggunaan obat, apakah sebelum, saat makan, ataukah sesudah makan. Kadang-kadang, ada anjuran untuk minum obat pada pagi. sore, atau malam hari. Obat diabetes mellitus sebaiknya di konsumsi dini hari, saat sahur. Jangan sekali-kali minum obat saat perut kosong, terutama obat-obat yang dapat mengiritasi lambung. Misalnya obat rematik/analgesik, seperti diklofenak natrium, pinoksikam, aspirin, antalgin, dan lain-lain. Sebab, saat menjelang magrib asam lambung sangat berlebihan akibat menahan lapar dan dahaga. Un-tuk itu, konsumsilah obat setidaknya setengah jam setelah makan nasi.
Namun jika absorpsi obat sangat dipengaruhi oleh makanan dan minuman, minumlah obat 1-2 jam setelah rnengonsumi nasi. Absorpsi ibat yang dipengaruhi oleh makanan misalnya ampisitin, siprofloksasin, eritromisin, tetrasiklin. dan lain-lain. Sedangkan yang tidak dipengaruhi oleh adanya makanan, misalnya amoksilin, obat diabetes rnellitus (glibenklamid, glipizid, teofilin, dan lain-lain).
Aturlah waktu penggunaan obat antara magrib dan subuh (kurang lebih 10-11 jam). Misalnya, jika obat diminum 1 jam pascabuka puasa, maka dosis berikutnya adalah menjelang imsak/subuh. Waktu untuk minum obat semakin pendek, bila umat Islam menjalankan ibadah puasa di daerah yang waktu siangnya jauh lebih panjang dibanding malam harinya. Misalnya, saat musim panas di Eropa atau Amerika. Di sini, pemakaian obat yang cukup se-hari 1 kali merupakan solusi tepat.
Hal yang paling penting adalah selalu mengkonsultasikan penggunaan obat dengan dokter. Bagaimanapun, informasi yang benar dalam menggunakan obat bagi penderita amat penting, agar tujuan terapi obat tetap optimal dan kesehatan penderita tetap terjaga selama menjalankan ibadah puasa.