Jendela Informasi - Tanggal 4 Januari ditetapkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai Hari Braille Sedunia. Huruf Braille yang sangat identik dengan metode membaca dan menulis untuk tunanetra, dihadapkan pada tantangan perkembangan zaman di era digital. Masihkah huruf braille diperlukaan saat ini?
Huruf Braille merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi penyandang disabilitas netra dalam menyerap informasi. Ketika seseorang mengalami hambatan penglihatan maka Braille menjadi rujukan pertama yang wajib dipelajari, agar tunanetra mampu mengakses segala macam pengetahuan.
Dalam perkembangannya di dunia, penggunaan Braille semakjn memudar. Kemudahan yang diantarkan teknologi, membuat banyak tunanetra lebih memilih untuk mengakses berbagai aplikasi yang ditawarkan.
Banyak pula tunanetra yang akhirnya tak begitu tertarik belajar membaca dan menulis menggunakan Braille karena merasa sudah cukup dengan beberapa aplikasi instan yang ditawarkan.
Misalnya, teknologi screen reader yang mampu mengeluarkan suara pada perangkat keras seperti komputer maupun gawai pintar. Setidaknya, terdapat dua kemudahan menggunakan teknologi pembaca layar dibandingkan dengan sistem Braille, yaitu dalam hal biaya dan kepraktisan.
Dalam hal biaya, misalnya. Untuk membuat buku Braille, diperlukan printer khusus berharga mahal agar dapat mengonversi tulisan abjad latin menjadi huruf Braille.
Demikian pula dengan harga buku. Harga buku dengan huruf Braille jauh lebih tinggi daripada buku biasa.
Selain itu, banyak yang menganggap buku Braille kurang praktis untuk dibawa ke mana-mana, serta memerlukan tempat penyinpanan khusus yang lebih besar dari tempat buku biasa. Bahkan, perbandingannya mencapai 1:3 dengan buku biasa.
Inovasi teknologi
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkah, jumlah penyandang tunanetra di dunia pada 2017 mencapai 253 juta jiwa. Jumlah itu diprediksi oleh Lancet Global Health akan terus meningkat tiga kali lipat pada 2050.
Melihat populasi tunanetra yang tidak sedikit, beberapa inovasi teknologi diciptakan untuk menunjang aktivitas mereka sehari-hari. Salah satu contoh, yaitu penerjemah huruf Braille.
Teknologi itu memungkinkan penyandang disabilitas netra untuk membaca huruf normal ke huruf Braille. Peneliti dari Massachusetts Institute of Technology, AS, mencoba mengembangkan sistem huruf taktil (yang bisa disentuh atau diraba) ke sebuah perangkat yang bisa menerjemahkan huruf biasa ke huruf Braille secara real-time.
Perangkat itu dibekali fitur pemindai. Fungsinya mirip dengan yang terdapat di banyak mesin penerjemah, yakni menangkap gambar yang tertulis dengan huruf biasa, lalu menerjemahkannya ke huruf Braille.
Peneliti menambah Optical Character Recognition (OCR) yang digunakan untuk mengutip teks. Mereka optimistis bisa merealisasikan purwarupa ini ke pabrikan untuk diproduksi lebih luas lagi dalam beberapa tahun ke depan.
Ada pula aplikasi “Seeing I App” yang sedang dikembangkan Microsoft. Cara kerjanya, perangkat itu bisa membantu tunanetra untuk menemukan benda tertentu atau menuntun mereka melalui jalur yang telah di preset sebelumnya. Jalur tersebut ditentukan dari arah suara "follow me" (ikuti saya).
Prinsip desainnya adalah memberikan suara ke semua objek yang relevan di sekitar pengguna. Setiap objek di dalam scene dapat berbicara ke pengguna dengan suara yang berasal dari lokasi si objek. Nada suara (dari benda) akan naik seiring objek yang mendekat. Pengguna secara aktif memilih objek mana yang sedang berbicara melalui beberapa mode.
E-aksesibilitas
Menilik sejarahnya, pada 1851, tulisan Braille diajukan pada pemerintah Prancis agar diakui secara sah. Sejak saat itu, penggunaan huruf Braille mulai berkembang luas hingga mencapai negara-negara lain.
Pada akhir abad ke-19, sistem tulisan ini diakui secara universal dan diberi nama "tulisan Braille". Pada 1956, Dewan Dunia untuk Kesejahteraan Tuna Netra (The World Council for the Welfare of the Blind) menjadikan bekas rumah Louis Braille, penemu tulisan Braille, sebagai museum. Kediaman tersebut terletak di Coupvray, 40 km sebelah timur Paris.
Sistem tulisan Braille mencapai taraf kesempurnaan pada 1834. Huruf-huruf Braille menggunakan kerangka penulisan seperti kartu domino. Satuan dasar dari sistem tulisan ini disebut sel Braille, tiap sel terdiri atas enam titik timbul; tiga baris dengan dua titik.
Keenam titik tersebut dapat disusun sedemikian rupa hingga menciptakan 64 macam kombinasi. Huruf Braille dibaca dari kiri ke kanan dan dapat melambangkan abjad, tanda baca, angka, tanda musik, simbol matematika, dan lainnya. Ukuran huruf Braille yang umum digunakan adalah dengan tinggi sepanjang 0,5 mm, serta spasi horizontal dan vertikal antartitik dalam sel sebesar 2,5 mm.
Pada 2006, PBB sempat menyerukan mengenai Hari Internasional Untuk Masyarakat Penyandang Cacat (International Day for Disabled People) bertemakan e-aksesibilitas. Artinya, kaum tunanetra semakin memiliki pejuang dalam hal pengaksesan informasi di zaman digital. Contohnya, pembuatan aplikasi “teks ke pembicaraan" (texts-to-speechs) atau "layar pembaca" (screen reader) yang mampu membacakan ketikan teks pada layar komputer bagi pengguna tunanetra. [Endah Asih / Maman Soleman / PRM / 06012019]
Posting Komentar untuk "Buku Braille di Tengah Gempuran Teknologi Era Digital, Masihkah Diperlukan?"
Berilah komentar yang sopan dan konstruktif. Diharap jangan melakukan spam dan menaruh link aktif. Terima kasih.