Image Source: Inside-rge.com
https://www.inside-rge.com/wp-content/uploads/2018/07/Photo-1b-700x350@2x.jpg
Berdiri dengan nama Raja Garuda Mas pada 1967, Royal Golden Eagle (RGE) berkiprah di sektor sumber daya. Mereka memiliki unit-unit bisnis dengan bidang operasi berbeda-beda. Namun, banyak di antaranya terkait dengan perkebunan.
Saat pertama kali berdiri dengan nama Raja Garuda Mas, RGE menekuni industri kayu lapis. Namun, sekarang mereka berkiprah di sektor kelapa sawit, pulp dan kertas, selulosa spesial, serat viscose, serta minyak dan gas.
Banyak dari bidang tersebut yang terkait erat dengan perkebunan. Sebab, untuk mendapatkan bahan baku, sejak lahir dengan nama Raja Garuda Mas hingga bertransformasi menjadi RGE, mereka memang tidak mau memperolehnya dari alam. RGE berusaha sekeras mungkin untuk membangun perkebunan sendiri supaya lingkungan terjaga.
Ini dilakukan di semua unit bisnisnya. Bracell misalnya. Mereka adalah unit bisnisnya yang beroperasi dalam produksi selulosa spesial. Berbasis di Brasil, Bracell dikenal sebagai pemain penting di tataran global di industrinya.
Hal ini tak lepas dari kemampuan Bracell memperoleh kayu yang menjadi bahan baku. Dibanding mengambil dari hutan alam, mereka memilih mendapatkannya dari perkebunan sendiri. Jadilah unit bisnis grup yang pertama kali berdiri dengan nama Raja Garuda Mas ini mengelola lahan seluas 84 ribu hektare di kawasan Bahia. Di sana mereka menanaminya dengan pohon eukaliptus.
Bracell melakukan panen setiap enam hingga tujuh tahun sekali. Pemanenan dilakukan ketika pohon eukaliptus sudah setinggi 35 meter. Ini terbilang cepat. Pasalnya, di kawasan lain di dunia, butuh waktu puluhan tahun untuk menumbuhkan pohon serupa.
Hal ini akhirnya berakibat terhadap kebutuhan bibit yang tinggi. Untuk mampu memenuhi stok bahan baku produksi, Bracell akhirnya harus terus memaksimalkan perkebunan. Itu bisa dilakukan kalau bibit eukaliptus tersedia.
Oleh sebab itu, unit bisnis yang lahir dengan nama Raja Garuda Mas ini berinvestasi tinggi terhadap pusat-pusat pembibitan. Saat ini, nursery yang dimiliki mencakup lahan seluas 21 hektare. Dari sana Bracell mampu menghasilkan 40 juta bibit eukaliptus per tahun.
Bibit-bibit itulah yang ditanam di perkebunan yang dikelola Bracell. Dengan ini, mereka mampu menjaga kapasitas produksi tetap tinggi.
Bracell bukan satu-satunya unit bisnis dari RGE yang mendasarkan bisnisnya dari pembibitan. Asian Agri juga melakukan hal serupa. Mereka adalah unit bisnis Royal Golden Eagle yang bergerak di industri kelapa sawit.
Kini, Asian Agri tercatat sebagai salah satu produsen kelapa sawit terbesar di Asia. Mereka mendapatkan bahan baku dari mengelola perkebunan seluas 160 ribu hektare. Dari luas itu, 60 ribu di antaranya dikelola oleh petani plasma.
Berkat itu, Asian Agri mampu menembus kapasitas produksi satu juta ton crude palm oil per tahun. Sukses itu tak lepas dari bibit berkualitas yang dimilikinya. Semua berawal dari pusat pembibitan yang ada di Kabupaten Kampar di Provinsi Riau. Dari sana bibit dihasilkan untuk ditanam di perkebunan.
Asian Agri bahkan mendirikan Asian Agri Oil Palm Research Station (OPRS) di kawasan Topaz. Mereka melakukan riset untuk menghasilkan bibit terbaik. Hasilnya adalah bibit kelapa sawit unggulan yang dinamai Topaz.
Bibit ini mampu menghasilkan kelapa sawit dengan hasil yang lebih besar. Pohon lebih cepat berbuah dengan produktivitas lebih tinggi. Selain itu, pohon tidak cepat tinggi sehingga lebih mudah dipanen. Lebih penting dari itu, bibit Topaz dapat beradaptasi di berbagai jenis kondisi tanah. Berkat ini, unit bisnis dari Royal Golden Eagle tersebut bisa menjaga kapasitas produksi tetap tinggi.
INVESTASI TINGGI DI PUSAT PEMBIBITAN
Image Source: Aprilasia.com
http://www.aprilasia.com/id/our-media/galeri-media
Grup APRIL juga berinvestasi dalam pusat pembibitan. Ini wajar karena sebagai produsen pulp dan kertas, APRIL butuh suplai bahan baku yang baik.
Saat ini, APRIL tercatat sebagai salah satu pemain besar di industri pulp dan kertas dunia. Posisinya diperhitungkan karena mampu menghasilkan pulp hingga 2,8 juta ton dan ditambah dengan produksi kertas hingga 1,15 juta ton per tahun.
Untuk memperoleh fiber yang diperlukan untuk produksi, APRIL tidak pernah mendapatkannya dari hutan alam. Kayu dari hasil pembalakan liar atau pembukaan lahan dengan membakar tidak akan masuk ke suplai bahan baku perusahaan.
APRIL memilih mendapatkan kayu dari hasil pengelolaan perkebunan sendiri. Saat ini, mereka tercatat mengelola perkebunan seluas 480 ribu hektare bersama dengan 40 mitra pemasok jangka panjang. Di sana, unit bisnis RGE tersebut menanam pohon akasia.
Berkat itu, APRIL mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan fibernya secara mandiri. Sekitar 79 persen sudah didapat dari perkebunan sendiri. Sisanya keperluan bahan baku didapat dari para mitra pemasok jangka pendek yang berasal dari berbagai wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia.
Di balik kemampuan APRIL dalam mengelola perkebunan, keberadaan pusat pembibitan berarti penting. Berkat fasilitas tersebut, suplai bibit untuk ditanam selalu tersedia. Perlu diketahui, siklus panen pohon akasia terbilang pendek. Di Indonesia, pohon ini bisa dipanen setiap lima atau enam tahun sekali.
Hal ini akhirnya berdampak besar bagi pembibitan. Mereka dituntut untuk menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak. Ini yang akhirnya mendorong APRIL mendirikan pusat pembibitan.
Sekarang, unit bisnis grup yang berdiri dengan nama Raja Garuda Mas tersebut mempunyai tiga pusat pembibitan. Fasilitas itu ada di Baserah, Pangkalan Kerinci, dan Pelalawan. Namun, mereka juga melengkapinya dengan satelite nursery di berbagai daerah.
Untuk menghasilkan bibit, terdapat sejumlah tanaman induk. Di pusat pembibitan Pangkalan Kerinci terdapat 1,2 juta pohon induk. Sementara itu, di Baserah dan Pelalawan masing-masing memiliki 800 pohon induk. Akibatnya jika ditotal, APRIL memiliki 2,8 juta pohon induk untuk pembibitan akasia crassicarpa, akasia mangium, dan eukaliptus.
Di pusat-pusat pembibitan, bibit akasia dihasilkan. Setelah itu, bibit dirawat hingga sembilan atau sepuluh minggu. Sesudah itu, bibit baru siap ditanam.
Proses ini bisa menghasilkan bibit yang diperlukan untuk perkebunan. Tidak kurang dari 200 juta bibit dihasilkan setiap tahun. Berkat itulah, perkebunan milik APRIL selalu bisa ditata dengan baik supaya bisa menghasilkan fiber.
Saat ini, perkebunan APRIL mampu menghasilkan produksi kayu yang optimal. Untuk setiap hektare, perkebunan akasia bisa menghasilkan 32 meter kubik per tahun 2010. Jumlah ini cukup untuk mencapai kapasitas produksi tersebut.
APRIL, Bracell, serta Asian Agri sama-sama memaksimal pusat pembibitan karena alasan serupa. Mereka ingin memaksimalkan perkebunan supaya tidak perlu membuka lahan baru. Langkah ini begitu berarti bagi perlindungan alam karena hutan akan terus terjaga kelestariannya.
Hal ini sesuai dengan arahan kerja di Royal Golden Eagle. Sejak bernama Raja Garuda Mas hingga kini, RGE selalu berkomitmen untuk aktif menjaga keseimbangan iklim. Tekad itu dituangkan dalam satu poin filosofi bisnis 5C. Tidak aneh, semua pihak di sana selalu serius dalam melindungi lingkungan.
Posting Komentar untuk "Unit-unit Bisnis dari Grup yang Lahir Dengan Nama Raja Garuda Mas Memaksimalkan Pembibitan untuk Penuhi Bahan Baku"
Berilah komentar yang sopan dan konstruktif. Diharap jangan melakukan spam dan menaruh link aktif. Terima kasih.