"Sejak pagi ini, Tamin," katanya, "tanah ini seluruhnya untukmu. Dan aku menyadari, tubuhku terlalu tua untuk dibawa kerja. Semua terserah kepadamu. Engkau lebih tahu daripada aku untuk menetapkan apa yang baik untuk tanah ini."
Seperti penyesalan suara itu kedengarannya, teriakan yang datang jauh di dasar hati seorang tua yang merasa tidak mampu memenuhi wajibnya. Tamin menundukkan mukanya, takut memandang wajah ayahnya. Lalu pelan ia berkata, "Aku bekas serdadu, Ayah. Aku biasa menerima perintah dan menjalankan perkelahian untuk memenuhinya. Aku mendapat medan berkelahi sekarang di atas tanah ini. Kewajiban Bapak memerintah dan aku hendak bergulat di sini!"
Sejak hari itu, Tamin menghabiskan siangnya di tengah sawah, pacul yang telah berkarat di dapur mengilau kembali, dan bajak di samping kandang telah diturunkan. Ia mendapat pinjaman sepasang sapi dari Lurah Kabul. Semua dikerjakan dengan kegembiraan yang meluap-luap. Kadang-kadang, petang harinya jika hujan tidak mengubah jalanan menjadi lumpur, ayahnya datang ke pinggir sawah, berdiri di atas pematang menunggui Tamin yang tengah menggaru, meratakan tanah yang telah terendam air. Atau ia duduk di kursi goyang depan rumahnya, matanya yang kecil itu mencari-cari jauh ke petak-petak sawah di antara orang-orang yang mulai ramai menggaru, dan di sana ia melihat anaknya bergulat dengan lumpur seperti ia sendiri waktu mudanya. Wajibnya sekarang memerintah. Alangkah bahagianya memiliki anak seperti Tamin, dan jika datang waktunya ia harus meninggalkan dunia ini, ia hendak pergi menghadap Tuhannya dengan ikhlas. Ia tahu, Tamin akan mampu menjalankan wajib hidupnya lebih baik daripada yang bisa diharapkan.
Dan Sumi, ia takkan bekerja berat lagi. Ia cuma memasak di dapur dan mengantar rantang makanan ke sawah untuk kakaknya, dan menemaninya di waktu senja pulang ke rumah. Kegembiraan dalam rumah itu bertambah hari bertambah terasa. Wajah ayah Tamin bertambah merah, kekuatannya berangsur kembali sedikit demi sedikit. Dada ibunya tak lagi setipis dahulu dan kehitaman kulit Sumi bertambah kurang. Atap rumah yang bocor sedikit demi sedikit telah diganti. Hidup mereka mulai terisi oleh warna. Pada setiap pojok rumah, setiap penjuru kebun, semua yang termasuk bagian rumah itu seperti ikut meneriakkan kegembiraan.
Dan pertama kali ketika Tamin menembang menjelang malam, seluruh kampung seperti tersentak karenanya. Itu adalah hari pertama ketika ia mengerjakan sawahnya. Ia merasa capai, membaringkan tubuhnya panjang-panjang di atas dipan sambil mengepulkan asap rokok daun jagung ke atas langit-langit. Seperti ada sesuatu yang menggerakkan ia untuk duduk, dibuangnya puntung rokok ke samping dipan, lalu pelan-pelan suaranya naik dalam lagu Asmaradana. Suara itu penuh dan lunak mengayunkan udara dalam rumahnya, menembusi lubang-lubang dinding dan menjalari kegelapan di luar, menyentuh daun-daun dibawa angin merayapi dinding rumah seluruh desa. Seperti tergetar udara desa yang tenang itu penuh oleh alunan suaranya. Yang belum pernah mengenal menjulurkan kepala, itukah suaranya? Alangkah merdunya. Yang pernah mengenalnya menerima dengan kagum, ia sempat menembang akhirnya. Tujuh tahun seperti tak berubah suara itu. Dan anak-anak pemancing di pinggir kali yang pernah ditemuinya mengangkat kepala dalam tidurnya, ia memenuhi janji! Kang Tamin menembang untuk kita malam ini. Dan hati para gadis dalam kampung yang kecil itu jadi bangun karenanya, dibawa oleh suara Tamin naik dan turun mengikuti irama, mereka menutup matanya pelan-pelan dan mimpi indah mengantar tidur mereka malam itu. Jika ada suami-istri yang bertengkar pada malam seperti itu, mereka akan berhenti, mata akan berpandang-pandangan, dan damai menguasai kalbu. Alangkah lunaknya, alangkah halusnya. Tetapi itu punya kekuatan untuk menggerakkan hati seluruh kampung.
Dan orang-orang tua yang mengerti bahasa Kawi akan terperanjat. Mereka akan mengikuti kata demi kata dan bertambah panjang tembang itu mepeka bertambah kagum. Tembang itu tidak terdapat dalam buku-buku sejarah yang dikenal oleh desa itu. Mereka akan menutup mata untuk menikmatinya dan rokok yang masih terjepit antara jari jadi terlupa. Dan benar mereka tidak pernah mengenal isi tembang itu.
Tembang itu mengisahkan seorang anak kampung yang pergi ke kota kerajaan dan berhasil menjadi tukang kuda dalam istana. Putri raja satu-satunya yang masih remaja akhirnya jatuh cinta sebab dikisahkan anak kampung tukang kuda itu tampan dan gagah sekali. Raja jadi murka mendengar peristiwa itu dan sebagai pencegah, raja mengadakan sayembara: barang siapa bisa menunjukkan dirinya paling pandai bermain pedang, ia akan jadi menantu kerajaan dan berhak diangkat jadi putra mahkota.
Tak ada yang memasuki sayembara itu sebab telah tersiar kabar bahwa seorang putra raja negeri lain, telah menyatakan mengikuti sayembara. Anak raja itu terkenal sebagai ahli bermain pedang yang tiada taranya, dan oleh baginda raja negeri itu memang diharapkan untuk diambil sebagai menantu. Dekat batas waktu sayembara itu habis, muncullah tukang kuda sebagai penantang. Maka ramailah alun-alun dikunjungi oleh penduduk seluruh negeri hendak menyaksikan perkelahian pedang pasti akan dahsyat itu. Pada waktunya muncullah putra raja pengikut sayembara dengan pakaian kebesaran ke gelanggang dengan pedang mengilau di tangan, sedangkan tukang kuda itu dengan pakaiannya yang bersahaja, tetapi tampan dan gagah sekali dengan pedang pula di tangan. Tak seorang pun akan mengira, bahwa tukang kuda itu akan dapat mengimbangi kemahiran putra raja yang telah begitu tersohor.
Di luar dugaan dan harapan orang-orang kampung yang mengikuti kisah itu, anak kampung tukang kuda itu meninggal dalam gelanggang, putus lehernya oleh pedang lawannya dan mayatnya diangkat orang dan ditanam di tempat asalnya. Sedangkan putra raja yang dinyatakan sebagai pemenang, dinobatkan sebagai pengganti baginda dan hendak mengambil putri sebagai permaisuri. Tetapi kisah itu tidak berhenti di sana sebab pada saat menjelang upacara sang putri lenyap, tak seorang pun mengetahuinya. Segera baginda mengerahkan seluruh balatentara untuk mencarinya, tetapi itu telah terlambat. Putri raja yang cantik itu didapati orang meninggal, membunuh dirinya dengan sebilah keris di atas pusara tukang kuda, kekasihnya.
Kisah itu dalam bahasa Kawi, disusun dalam bentuk tembang lagu Asmaradana; susunan itu begitu indahnya dan jadi hidup dalam bayangan setiap pendengarnya yang mengenal bahasa itu.
"Tukang kuda itu kalah dalam gelanggang jadinya?" tanya ayah Tamin dengan nada sedih.
"Ya, Pak. Tapi ia menang dalam merebut hati putri itu."
"Alangkah indahnya kisah itu. Kukira itu belum pernah ada dalam buku-buku."
'Tidak. Itu tidak terdapat dalam buku."
"Bagaimana kau tahu itu? Dari mana kau dapat itu?"
Hening sejenak, Tamin tidak segera menyahut. Lalu dengan suara perlahan dan setengah ragu-ragu ia berkata, "Itu lantaran aku sendiri yang menyusunnya."
"Kau?" kata ayahnya terkejut. "Kau? Siapa bisa percaya itu? Engkau, anakku?"
"Ya, Pak. Kususun itu selama perjalanan dan kutembangkan itu di negeri jauh meski orang tak mengerti artinya."
Dan esoknya dan hari-hari sesudahnya, kisah itu menjadi acara pembicaraan orang kampung. Mereka kagum akan isinya, dan sebentar saja ia merasa menjadi milik seluruh desa. Tamin pulang membawa cerita tembang untuk kita.
***
Posting Komentar untuk "Pulang, Cerpen Masterpiece Karya Toha Mohtar Bagian 1"
Berilah komentar yang sopan dan konstruktif. Diharap jangan melakukan spam dan menaruh link aktif. Terima kasih.