Jendela Informasi - Henti jantung dan henti napas adalah salah satu kondisi yang dikenal dalam dunia medis dengan sebutan code blue atau kode biru. Di setiap rumah sakit besar, keberadaan tim code blue adalah wajib dan harus bisa menangani siapa pun, tak hanya pasien, tapi bisa juga tenaga medis, keluarga pasien, atau siapa pun yang ada di lingkungan RS.
Tim code blue tentu saja bertindak ketika ada seseorang yang tiba-tiba mengalami henti jantung dan henti napas. Oleh karena itu, yang juga penting adalah bagaimana mencegah supaya seseorang tidak sampai mengalami code blue, dengan peringatan dini yang menggunakan early warning scores (EWS).
Tim code blue memang keharusan. Namun, sistern baru yang harus juga diterapkan di setiap rumah sakit adalah meningkatkan peringatan dini supaya seseorang tidak sampai masuk ke tahap code blue sehingga angka penanganan code blue bisa menurun.
Semakin kecil jumlah code blue karena peringatan dininya berjalan, itu berarti semakin baik. Peringatan dini itu tujuannya untuk menghindari terjadinya perburukan pada kondisi pasien di bagian mana pun, apakah di UGD, di poliklinik, atau di ruangan mana pun di rumah sakit.
Permasalahan fasilitas kesehatan di rumah sakit mana pun adalah ketersediaan daya tampung ICU (intensive care unit) yang terbatas. Perbandingan antara daya tampung dan jumlah pasien yang membutuhkan perawatan di ICU tidaklah sebanding. Bukan hanya ICU selalu penuh, biaya perawatannya pun cukup mahal.
Dengan peringatan dini yang menggunakan EWS, kita bisa menurunkan angka morbiditas, yaitu supaya kondisi pasien tidak semakin buruk sehingga kebutuhan menggunakan ICU pun menurun. Peringatan dini juga akan menurunkan mortalitas atau angka kematian.
EWS tidak memerlukan peralatan canggih. Setiap orang pun bisa berperan untuk mewaspadainya dengan pelatihan yang tidak sesulit seperti saat bergabung menjadi tim code blue. Di dalam EWS, ada tujuh parameter kondisi fisik yang harus dinilai. Ketujuhnya adalah tingkat kesadaran, laju napas, laju nadi, tekanan darah, suhu tubuh, saturasi oksigen, dan produksi urine.
Ketika seseorang memperlihatkan tanda kegawatdaruratan, ketujuh hal itu harus dinilai segera dengan skor 0-3 ke kanan dan 0-3 ke kiri. Semakin ke kiri, kondisinya semakin tidak bagus sehingga pasien bisa segera dikonsultasikan ke ahli saraf, ahli jantung, ahli paru, dan ahli intensive care meskipun dia berada di UGD atau rawat inap. Ketika lebih dini dikonsultasikan. diharapkan pasien tidak perlu masuk ICU dan tidak sampai mengalami code blue.
Awam
Bukan hanya tenaga medis yang harus memahami peringatan dini dengan penilaian EWS, tapi juga keluarga pasien. Sebab, keluarga selalu mendampingi pasien sehingga bisa melihat perubahan yang terjadi yang harus segera mendapatkan tindakan medis.
Dari ketujuh parameter itu, ada beberapa hal yang mungkin sulit dikenali oleh orang awam. Namun, ada empat parameter yang bisa dengan kasat mata diamati oleh orang awam yang bisa menjadi peringatan dini bahwa ada tanda kedaruratan yang membutuhkan tindakan segera.
Misalnya, tadinya bisa diajak ngobrol lalu tidak bisa. Itu artinya kesadarannya menurun. Laju napasnya juga berubah, tadinya normal menjadi lambat. Suhu tubuh juga bisa diketahui apakah tinggi atau rendah, ataukah tiba-tiba menjadi berkeringat. Selain itu, bisa melihat dari produksi urine seperti misalnya air kencing tidak keluar setelah beberapa lama.
Ketika perubahan kondisi itu didapati, keluarga bisa segera memanggil tenaga medis dan bisa segera dikonsultasikan ke dokter yang ahli sesuai dengan keluhannya. Dengan adanya peringatan dini dan penilaian EWS yang diterapkan dengan baik, pencegahan pasien menjadi code blue bisa dilakukan dan kebutuhan untuk perawatan di ICU menurun.
Pelaksanaan EWS ini sebenarnya lebih mudah. Kendalanya pada pengenalan dini masing-masing orang yang belum terlatih, terutama berkaitan dengan sense of crisis. Untuk itu, semua tenaga medis di RS diharapkan juga terlatih sehingga bisa lebih baik mengamati kegawatdaruratan pada pasien.
Kode internasional yang mengacu pada kondisi pasien yang henti jantung dan henti napas adalah code blue atau kode biru. Setiap RS pun diwajibkan memiliki tim code blue yang mumpuni. Berikut ini beberapa kode biru atau blue code untuk dikenali dan dipahami.
Titik kritis 1 menit saja
Ketika pasien berstatus code blue, bila segera diberikan resusitasi dan kejut jantung dalam waktu 1-2 menit setelah kejadian, hal itu bisa meningkatkan angka keberhasilan sampai lebih dari 60%. Setiap menit demi menit, keterlambatan penanganan awal akan menurunkan angka keberhasilan 7%-10% setiap menitnya.
Keberhasilan bisa mencapai 90%
Kecepatan pemberian kejut jantung bisa menghasilkan angka keberhasilan yang tinggi. Bila dilakukan satu menit setelah kejadian, persentase keberhasilannya mencapai 90%. Namun, angka keberhasilan untuk menyelamatkan pasien code blue akan menurun jika ditangani terlambat. Bila dilakukan lima menit setelah kejadian, persentasenya turun menjadi 50%. Bila baru ditangani tujuh menit kemudian, persentasenya menjadi 30% dan akan menjadi 2%-5% bila ditangani 10-12 menit setelah pasien mengalami henti jantung.
Kematian otak dalam menit ke-4
Ketika pasien yang mengalami henti jantung tidak segera mendapatkan resusitasi jantung paru-paru dan kejut jantung, akan terjadi kematian otak setelah 4-6 menit. Jika dilakukan di atas 10 menit, kerusakannya parah dan semakin sulit diselamatkan.
Lebih dari 30% bisa diselamatkan
Kecepatan tim code blue bisa menyelamatkan kurang lebih 30% pasien code blue. Sepanjang 2017, ada 98 pasien code blue dan sebanyak 35 orang bisa diselamatkan. Tindakan resusitasi jantung yang benar yang dilakukan tim code blue akan memperbaiki sirkulasidi jantung dan otak. Ditambah kejut jantung yang diberikan sesegera mungkin dengan baik dan betul akan meningkatkan angka survival.
Posting Komentar untuk "4 Code Blue yang Harus Dikenali agar Terhindar dari Henti Jantung dan Henti Napas"
Berilah komentar yang sopan dan konstruktif. Diharap jangan melakukan spam dan menaruh link aktif. Terima kasih.