Jendela Informasi - Disleksia bukanlah anak dengan intelegensi rendah. Disleksia merupakan kesulitan belajar spesifik akibat kelainan dengan dasar neurologis serta berhubungan dengan kemampuan penguasaan dan pemprosesan bahasa.
Disleksia merupakan suatu kesulitan di area berbahasa, meliputi lisan, tulisan, dan bahasa sosial. Disleksia syaratnya harus cerdas, IQ minimal normal. Jadi sebenarnya dia pintar, tapi kesulitan bahasa.
Saat anak usia prasekolah, gejala disleksia bisa terlihat saat ia mengalami kesulitan menuturkan idenya. Artikulasinya sering tidak tepat dan penempatan kosakata pun tidak tepat. Misalnya, saat ingin mengatakan kolam yang dalam, sang anak menyebutnya tebal.
Memasuki usia sekolah dasar, sekitar 7 tahun, gejala mulai terlihat yaitu tulisan yang terbolak-balik. Pada usia berikutnya, anak kesulitan memahami bacaan, tidak bisa menangkap pesan yang tersirat dari bacaan, apalagi memahami kalimat yang panjang.
Sebelum usia 7 Jahun, menulis terbolak-balik itu masih sah-sah saja. Oleh karena itu, secara universal disepakati bahwa diagnosis disleksia itu bisa dikonfirmasi pada usia 7 tahun. Tetapi apakah 7 tahun tidak bisa menulis pasti disleksia? Tidak juga. Kalau anak IQ di bawah rata-rata pasti kesulitan. Anak disleksia ini syaratnya IQ minimal normal dan kebanyakan di atas normal.
Karena kecerdasannya itulah, sayang sekali anak-anak dengan disleksia malah di-bully dan tidak diakomodasi oleh sekolah tempatnya dididik. Salah berkomentar saja, anak dengan disleksia cukup sensitif sehingga akan stres, depresi, dan tidak sedikit yang bunuh diri.
Bulan Oktober adalah bulan kepedulian disleksia, tapi sepanjang tahun pun kita harus aware. Mereka adalah generasi penerus yang cerdas. Mereka biasa thinking out of the box seperti Albert Einstein, Bill Gates, dan Steve Job yang juga disleksia. Orang-orang ini tough, akhirnya mereka outstanding.
Kasus anak dengan disleksia cukup banyak. Meskipun belum ada data akurat di Indonesia, berbagai penelitian di luar negeri menampilkan angka antara 3 persen-20 persen sehingga bisa dikatakan rata-rata ada 10 persen.
Rata-rata 10 persen itu besar, coba hitung dari jumlah anak di Indonesia. Oleh karena itu, kita harus peduli, kenali, dan akomodasi. Anak disleksia tidak sama dengan anak berkebutuhan khusus lain, tapi mengalami kesulitan belajar dibandingkan dengan anak normal. Sehingga, ia harus diakomodasi dengan baik di sekolah dan diatur secara jelas oleh pemerintah.
Akomodasi harus diberikan karena memang disleksia bisa ditangani atau diterapi. Untuk dileksia berat, anak itu harus meninggalkan sekolah dulu sementara waktu. Setelah menjadi lebih baik, baru ia kembali bersekolah seperti biasa. Bila disleksia ringan atau sedang, terapi bisa dilakukan sambil tetap bersekolah biasa.
Apakah disleksia bisa disembuhkan? Tepatnya bukan disembuhkan, tapi kondisinya bisa lebih baik. Disleksia merupakan kelainan yang bersifat genetik, jadi memang dari gennya seperti itu dan gen itu akan tetap ada meski diterapi. Terapi membuat anak memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik dan juga lebih baik secara psikologis.
Saat menemukan anak-anak dengan kondisi seperti itu, mari ingat untuk tidak menganggapnya lebih rendah dari anak lain. Apalagi secara inteligensia, dia adalah anak cerdas yang memang membutuhkan perlakuan khusus. Bila diakomodasi dengan baik, siapa sangka mereka akan menjadi orang hebat di kemudian hari? Seperti bunyi sebuah jargon,"Dyslexia today, genius tomorrow." [Sumber: Vebertina Manihuruk/PR/25102015).
Posting Komentar untuk "Cara Atasi Anak Disleksia, Para Ortu Wajib Tahu"
Berilah komentar yang sopan dan konstruktif. Diharap jangan melakukan spam dan menaruh link aktif. Terima kasih.