Jendela Informasi - Dataran Tinggi Dieng nyaris tak pernah terlewat dari peta pariwisata Indonesia. Ada yang menyebut Dieng sebagai Negeri Legenda, tapi ada juga yang menjulukinya tempat tinggal para dewa.
Apa yang menjadi daya tarik Dataran Tinggi Dieng? Pertama orang biasanva mengaitkannya dengan keberadaan kompleks percandian tertua di Indonesia. Setelah itu orang barangkali menghubungkannya dengan banyaknya kawah.
Sesungguhnya, kawasan Dieng lebih dari tekadar tempat-tempat yang disebutkan tadi. Di dunia agroindustri misalnya, Dieng adalah daerah penghasil utama kentang berkualitas tinggi dan pusat pertanian jamur yang hasilnya sudah diekspor ke mancanegara.
Tarohlah kentang dan jamur tidak menarik pehatian, keindahan alamnya pasti mengikat ingatan kita untukk ingin mengunjunginya sekali lagi.
Ada Salju Turun
Kenikmatan mengunjungi Dieng sudah terasa ketika kita memasuki kota Wonosobo, sebuah kota kabupaten yang bersih, asri dan tenang. Dari kota inilah orang memulai perjalanan ke Dieng. Rombongan wisatawan yang memakai bis besar biasanya berganti dengan minibus di kota ini.
Berganti kendaraan dari bis ke minibis memang biasa di Dieng. Pasalnya, jalan ke sana meski beraspal mulus, tapi tidak cukup lebar untuk dua bis sekaligus. Selain itu, jarak 27 kilometer dari Wonosobo ke Dieng mendaki, dengan tanjakan yang cukup curam. Untunglah, sebuah koperasi yang dikelola dinas pariwisata setempat sudah menyediakan banyak minibus.
Baca juga : Pesona Wisata di Tanjung Benoa Bali
Dataran Tinggi Dieng berada 2093 meter di atas permukaan laut. Dengan sendirinya, Dieng memiliki hawa yang sejuk bahkan cenderung dingin. Pagi hari suhunya bisa mencapai 5 derajat Celcius. Sedangkan suhu tertingginya hanya 17 derajat Celcius. Dieng barangkali tempat satu-satunya di Indonesia di mana salju kadang-kadang turun.
Menurut sejarahnya, nama Dieng berasal dari bahasa Sansekerta "ardi" yang berarti pegunungan, dan "hyang" yang berarti surga tempat tinggal para Dewa. Dengan lain perkataan, Dieng adalah gunung tempat tinggal para Dewa. Dari sini kita sudah bisa membayangkan, bagaimana indahnya Dieng bilamana para Dewa berkenan tinggal di sana.
Versi lain menyebutkan, nama Dieng berasal dari bahasa Jawa "adi" dan "aeng". "Adi" berarti "indah" sedangkan "aeng" berarti luar biasa. Jadi kita dapat mengartikan Dieng sebagai tempat yang indah untuk dikunjungi.
Lalu apa yang bisa kita lihat di "tanah para dewa" ini? banyak bahkan sangat banyak. Bayangkan dalam jarak yang tidak terlalu berjauhan kita bisa menemukan peninggalan sejarah yang menyatu dengan keunikan alam.
Biasanya pengunjung mengawali lawatannya di Dieng dengan melihat candi. Salah satu keunikan candi-candi di Dieng adalah tempatnya berdiri. Tidak seperti candi-candi lain yang biasanya di tanah yang kering, Candi di Dieng justru sebaliknya: dibangun di atas lumpur telaga. Tentu saja ini banyak menimbulkan pertanyaan, kenapa candi yang dibangun pada abad ke-8 itu tidak melesak? Itulah kehebatan nenek moyang kita.
Sebetulnya Dieng memiliki 17 candi, namun yang masih bisa kita saksikan tinggal delapan, yakni Arjuna, Semar, Sembadra, Puntadewa, dan Srikandi. Kelima candi ini berada di tengah, Sedangkan yang terletak di bagian barat adalah Gatotkaca dan Bima. Terakhir, Candi Dwarawati terletak di sebelah timur. Inilah satu daya tarik lagi, nama candi yang diambil dari khasanah perwayangan.
Balas Dendam Raja
Puas mengagumi candi, kita bisa melihat kawah Si Kidang. Menyaksikan kawah ini ada perasaan berdebar. Betapa tidak? dari jarak yang tidak begitu jauh kita bisa melihat bagaimana bergolaknya lumpur panas yang disertai berhembusnya asap yang berbau belerang. Sementara suara lumpur yang bergolak itu menimbulkan kesan yang mencekam.
Kawah Si Kidang bertambah menarik. Karena bersama gelegaknya kawah terkubur pula legenda Raja yang berbadan rusa. Syahdan, Raja tersebut kalah dalam suatu peperangan, sebagai hukuman dia harus membuat sumur dalam satu malam. Ia gagal. Akibatnya, tubuh Sang Raja ditimbun di dalam sumur yang digalinya.
Merasa sakit hati, ia lantas memohon petunjuk kepada para Dewa agar bisa membalaskan sakit hatinya. Dewa mengabulkannya. Ia lalu dititahkan bertapa selama seratus hari. Selesai tapa, tiba-tiba muncul satu keajaiban, sumur yang digalinya itu meletus. Letusannya menyerupai kidang (rusa) yang melompat-lompat, maka disebutlah Si Kidang.
Di sebelah Si Kidang, ada kawah yang lain. Itulah kawah tempat Gatutkaca digodok agar menjadi ksatria sakti mandraguna: Kawah Candradimuka.
Puas menyaksikan kawah, baiklah kita menuju "legenda" yang lain: Telaga Warna. Bila kita mengunjungi Telaga Warna, tahulah kita ini bukanlah sekadar nama, melainkan betul-betul demikian. Setiap saat telaga tersebut memancarkan cahaya warna-warni. Memang menakjubkan. Apalagi di telaga itu hidup angsa-angsa putih yang konon jelmaan puteri-puteri kahyangan!
Bersebelahan dengan Telaga Warna ada Telaga Pengilon. Telaga yang terakhir ini memiliki air yang sangat jernih. Begitu jernihnya sehingga bisa digunakan untuk bercermin (pengilon=bahasa Jawa).
Keluar dari kompleks Telaga Warna, tak ada salahnya bila kita beristirahat dulu di sebuah taman. Taman yang dihiasi bunga warna-warni ini, ternyata dirancang oleh seorang arsitek Belanda. Tak heran bila kita merasakan suasana taman negeri "Kincir Angin" di sini.
Bersantai di taman itu, belum berarti lawatan kita di Dieng sudah lengkap. Kita masih harus mencicipi buah khas Dieng yang disebut Karika. Buah ini bentuknya menyerupai pepaya.
Posting Komentar untuk "Dataran Tinggi Dieng, Tempat Legenda Bertemu dengan Kenyataan"
Berilah komentar yang sopan dan konstruktif. Diharap jangan melakukan spam dan menaruh link aktif. Terima kasih.