Jendela Informasi - Tiga abad yang lalu, gunung bergemuruh ketika Sultan Agung mangkat. Babad Tanah Jawi mencatat itu. Jasadnya dimakamkan di Imogiri, komplek makam keluarga raja di pengunungan Girilaya. Sejak itu dipakai sebagai tempat peristirahatan terakhir para keturunannya, penerus dinasti Mataram.
Raja terakhir sampai saat ini dari Kasultanan Yogyakarta yang dimakamkan di Astana Imogiri adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX). Raja Jawa yang begitu dekat dengan rakyatnya, yang mangkat pada 3 Oktober 1988 silam di Washington DC, Amerika Serikat. Mungkin sebuah babad lain akan mencatat pemakaman HB IX adalah prosesi pemakaman terbesar di abad ke-20. Melihat lautan manusia yang turut mengantar Ngarsa Dalem ke singgasana abadi.
Hari-hari ini dan entah sampai kapan, Astana Imogiri akan terus berdetak. Silih berganti orang datang dengan aneka tujuan. Ada yang berziarah. Sekadar melancong. Ada pula yang ingin menyelami sisi lain dari kebudayaan Jawa dengan menengok makam pengusung tradisi Jawa. Sekaligus mengingat kebesaran Tuhan, bahwasanya tak ada yang kekal di dunia ini. Suatu saat kita akan kembali kepada-Nya.
Pasir Mekah
Lalu lalang manusia aneka bangsa dan warna kulit itu tak mampu mengusik kehidupan di desa unik yang dikepung tiga bukit. Sejumlah aturan dan adat melingkupi mereka. Menebang pohon ada sanksinya. Memetik buah ada hukumnya. Seakan-akan para raja yang beristirahat di bawah kerindangan pepohonan kayu putih itu "mengawasi" tindak-tanduk mereka.
Kepatuhan itu membuat Desa Girirejo, Kampung Pajimatan, Kecamatan Imogiri, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tetap tenang. Tak terjamah polusi dan hiruk pikuk kota. Terlebih, Astana Imogiri merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Yogyakarta. Kata sebagian orang, "belum ke Yogya kalau tidak melihat Keraton Yogyakarta dan Astana Imogiri".
Meski komplek makam itu sudah berusia ratusan tahun, kekokohan dan keaslian bangunan tetap terpelihara. Debu campur tanah tempat suburnya jamur dan lumut sudah dibersihkan. Kerak batu yang bertahun-tahun menempel sudah dikerok. Dibersihkan dengan bahan kimia.
Kini, bata merah yang mendominasi bagian depan komplek itu menampakkan warna aslinya. Itulah Gapura Supit Urang, pintu gerbang utama menuju komplek makam yang dibangun Sultan Agung pada sekitar 1629-1630. Ada 454 anak tangga yang dipahatkan di dinding bukit untuk mencapai puncaknya. Konon, para peziarah selalu ingin mencoba menghitung jumlah anak tangganya, tapi tak ada yang sama jumlahnya.
Gapura Supit Urang memiliki seni berkualitas dari segi historis maupun arkeologis. Bayangkan, susunan bata itu dibangun tanpa semen dan plester bisa tahan ratusan tahun. Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY merasa perlu untuk memugar bangunan berbentuk candi bentar itu. Menampilkan ciri arsitektur khas Jawa kuno, sebelum masuknya pengaruh Islam. Padahal, Sultan Agung, pendirinya sudah memeluk agama Islam.
Dua tempayan besar "mengawal" di depan gapura, begitu pula di tiap pintu masuk komplek makam yang berjumlah delapan buah. Fungsinya sebagai tempat air wudlu, karena para penziarah wajib berwudlu sebelum masuk komplek itu.
Pada dinding gapura ada sengkalan yang berbunyi: gapura sinupit mangkara tunggal, menunjuk angka 1529 tahun Jawa. Tahun awal dibangunnya Imogiri. Setiap peziarah mesti melewati kolam dangkal dan melepas alas kaki sebelum masuk komplek. Pada dinding kolam depan gapura itu terdapat sengkalan memet, yang berbunyi: sucining dirgo marganing manunggal swargo, menunjuk tahun 1623.
Sayangnya, sengkalan berbentuk relief yang menggambarkan orang sedang berwudlu itu mulai memudar saat direnovasi Pemda Bantul. Di belakang gapura itu terdapat kelir atau aling-aling bersifat mistis, maksudnya untuk penangkal maksud-maksud jahat yang ingin menjamah tempat sakral itu. Sedangkan Babad Astana Redi menyebutkan bahwa pembangunan komplek makam rampung pada 1657 tahun Jawa atau 1645, tiga tahun sebelum Sultan Agung Mangkat.
Kalau data itu benar, maka pembangunan Imogiri selesai secara bertahap selama 38 tahun. Mula-mula Gapura Supit Urang dan makam Sultan Agung, selanjutnya kolam dan komplek bangunan lain di dalam Astana Imogiri.
Syahdan, sebelum Astana Imogiri siap dibangun, paman Sultan Agung, bernama Gusti Pangeran Juminah datang, lalu "pesan tempat". Ia minta untuk bisa dimakamkan di pemakaman raja itu. "Sebagaimana kau ketahui, kelak aku juga ikut dimakamkan di sini," katanya pada sang ponakan. Rupanya, Sultan Agung jengkel atas permintaan pamannya, dan langsung menjawab, "Baiklah sekarang saja saya silahkan".
Tak lama, pamannya itu meninggal. Sultan melemparkan pasir, konon asal Mekah, yang jatuh di Gunung Merak dan tempat pemakaman Imogiri itu. Tanah yang kejatuhan pasir itu berubah jadi pegunungan cukup tinggi, lalu dipakai sebagai pemakaman.
Setelah memerintah 13 tahun, Sultan Agung mulai sakit sampai akhirnya ia meninggal (1647). Baginda pula raja pertama yang dimakamkan di Imogiri. Makamnya dibangun di komplek Kasultanagungan, bagian paling utara di Astana Imogiri. Sejak itu, Imogiri resmi menjadi tempat pemakaman raja-raja berikut kerabat dekatnya.
Baru pada 1986 direnovasi kembali tanpa mengubah bangunan asli untuk mencegah keruntuhannya dimakan waktu. Pemugaran itu diutamakan pada bagian muka Imogiri dan beberapa bagian lainnya, ditangani langsung arsitek Keraton Yogya Kyai Haji Tumenggung Tjitrosoemo.
Batu bata kuno yang sudah ratusan tahun itu dilepas satu per satu. Dicuci dan disikat dengan bahan kimia agar awet. Lalu dipasang seperti semula. Menurut Thomas, kalau tertimpa hujan airnya tidak menyerap tapi mengalir ke bawah sekalian menghanyutkan debu yang menempel di sela-sela batu. Sebab sudah dilapis pengawet anti jamur, anti lumut, dan antiganggang.
Abadi di Imogiri
Sebelum mengunjungi Imogiri, jangan lupa menyiapkan busana khas Jawa. Jika tidak ada, sekitar Imogiri menyediakan baju yang bisa disewa. Cuma peziarah yang mengenakan kain, blangkon, dan baju peranakan buat pria, serta kain dengan kemben buat wanita, yang diizinkan masuk. Alas kaki harus dilepas. Memotret juga terlarang. Maklum saja, makam yang kita ziarahi itu adalah makam raja-raja yang memerintah tanah Jawa. Tetap dihormati dan dijunjung tinggi martabatnya meski tinggal batu nisan.
Masih segar di ingatan kita, upacara pemakaman Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang mangkat 29 tahun lalu. Bisa dikatakan sebagai prosesi pemakaman terbesar abad XX, yang membuktikan betapa ia dihormati, bukan saja oleh para abdi dalem di keratonnya, tetapi juga oleh masyarakat di luar tembok keraton.
Makam tua itu kembali jadi pusat perhatian sejak HB IX dimakamkan. Seorang raja modern yang tahu bahwa takhta adalah untuk rakyat, dan bukan sebaliknya. Sebagian besar peziarah biasanya akan langsung bertanya dimana letak makam HB IX dan Sultan Agung. Dua raja yang paling populer di antara raja lainnya.
Keduanya sama-sama gigih menentang Belanda. Sultan Agung berani menyerbu Belanda hingga ke Batavia. Sedangkan HB IX berani menentang Pemerintah Belanda meski mempertaruhkan takhta, rakyat bahkan nyawanya sendiri asalkan Belanda angkat kaki dari bumi pertiwi. HB IX pula raja pertama yang menyatakan tunduk kepada pemerintah RI, sehari setelah dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan RI. Yang paling menonjol adalah sifat kerakyatannya.
Jenazah HB IX dimakamkan di Saptorenggo, satu dari delapan bagian komplek makam yang dikhususkan untuk makam para raja. Saptorenggo dibangun pada masa HB VII, berukuran 20 x 100 meter, terletak paling timur atau sebelah kanan Kasuwargan dan Besirayan.
Makam Sultan HB IX dinaungi sebuah cungkup berbentuk kubah yang diberi nama Purborekso. Makamnya bersebelahan dengan permaisuri HB VII. Urutan makam di Saptorenggo seperti berikut: paling kiri HB IX, di kanannya makam permaisuri HB VII, HB VII, HB VIII, dan di ujung kanan Pangeran Pati, Putra HB VII. Di selatan jajaran itu ada sederetan makam istri kedua HB IX, istri keempat HB IX, Pengeran Bei (putra HB VII), istri Pangeran Bei, dan istri Pangeran Pari.
Peziarah cuma bisa melihat gerbang Saptorenggo, hanya keluarga keraton yang diizinkan masuk. Begitu pula dengan ketujuh komplek makam lainnya di Astana Imogiri. Meski begitu, Imogiri tak pernah sepi dikunjungi peziarah dengan tetap memelihara keagungan dan kewibawaan keraton.
Sultan Agung pendiri dinasti Mataram dimakamkan di bagian Kasultanagungan, berada di tengah dan menjorok ke depan (utara). Di dekatnya ada makam Sri Ratu Batang, Hamangkurat Amral dan Hamangkurat Mas. Keduanya raja pengganti Sultan Agung.
Di arah selatan agak ke kanan Kasultanagungan ada bagian makam Paku Buwanan. Berisi makam para raja yang memerintah sebelum Mataram pecah menjadi Yogyakarta dan Surakarta. Saat itu keraton pindah ke Kartasura dengan raja Pangeran Puger atau bergelar Paku Buwana I (1797-1893), Imogiri tetap menjadi makam raja. Setelah mangkat PB I dikebumikan di bagian Paku Buwanan bersama Hamangkurat Jawa dan PB II, sebagai makam raja Kartasura.
Agak menjorok di sebelah selatannya, makam dipisahkan untuk para raja Yogyakarta (sayap kanan) dan Surakarta (sayap kiri). Masih ada lagi beberapa bagian yang dikhususkan bagi raja Yogyakarta, terutama setelah Pangeran Mangkubumi memisahkan diri dari Surakarta dan menjadi Hamengkubuwono I. Bagian makam untuk raja Yogyakarta, yaitu: Kasuwargan Yogyakarta, Besiyaran Yogyakarta, dan Saptorenggo Yogyakarta. Untuk raja Surakarta adalah Kasuwargan Surakarta, Kapingsangan Surakarta, dan Girimulya Surakarta.
Di jajaran makam raja, setelah makam HB IX, maka makam Sri Sunan Pakubuwono XII dari Kasultanan Surakarta yang dikebumikan pada tahun 2004 merupakan yang terakhir. Di sayap kanan masih kosong, tinggal Kasuwargan Yogyakarta untuk satu makam saja. Sedangkan HB II dimakamkan di Kotagede. Sementara di sayap kiri, juga tinggal tersedia satu tempat makam raja Surakarta di Girimulya.
Ada tidaknya raja yang dimakamkan, tempat itu tetap dianggap keramat oleh masyarakat Jawa. Mereka akan datang berziarah ke Imogiri, sembari mengenakan kain peranakan, pakaian yang menyimpan kesucian dan kebersihan hati.
Travel Tips
Astana Imogiri yang dibangun oleh Sultan Agung 325 tahun lalu, berada 17 km dari Keraton Yogyakarta, dalam wilayah Kabupaten Bantul. Sedangkan dari Terminal Bus Yogyakarta sekitar 4 km, dapat ditempuh 15 menit menggunakan angkutan umum. Dilanjutkan berjalan kaki sejauh 200 meter dari Terminal Imogiri.
Ada dua jalan yang dapat ditempuh menuju makam. Melalui jalan sebelah kiri pos utama, sembari menikmati kesejukan udara Taman Makam Seniman dan Budayawan Giri Sapto. Melintasi hutan kayu putih yang tum-uh subur mengelilingi komplek Imogiri.
Biasanya peziarah memilih jalan sebelah kanan. Menaiki anak tangga berjumlah 454 yang dipahatkan di dinding bukit. Lazimnya, peziarah selalu menghitung jumlah anak tangga tersebut, anehnya tak ada jumlah yang sama dari tiap peziarah. Tiap orang punya angka sendiri. Dan kebiasaan menghitung anak tangga Imogiri terus beredar dari mulut ke mulut.
Astana Imogiri dapat dikunjungi setiap hari, siang maupun malam. Selalu ada abdi dalem yang bertindak sebagai juru kunci. Bagi peziarah yang ingin sampai di depan makam para raja itu disediakan waktu-waktu tertentu.
Selama satu minggu ada tiga hari, yaitu: Senin dan Minggu jam 10.00-13.00, sedangkan Jumat, sesudah Shalat Jumat(13.30- 16.00). Selain itu dibuka pula tiap tanggal 1 Syawal, 8 Syawal, 10 Dzulhijjah (Grebeg Besar) jam 10.00 -13.00.
Selama bulan Ramadhan, imogiri ditutup selama 1 bulan. Begitu pula pada tanggal 2 sampai 7 Syawal serta tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah. Khusus untuk makam Keraton Yogyakarta ditutup jam 16.00. Setiap hari buka.
Imogiri yang keramat itu mempunyai aturan ketat. Tak boleh memakai sembarang pakaian. Siapa pun harus memakai pakaian peranakan. Bagi pria memakai kain batik bebed, bukan sarung serta ngligo (tanpa baju) atau baju peranakan dilengkapi blangkon. Sedangkan wanita memakai kain batik dan kemben (penutup dada), bila berambut panjang harus disanggul dan melepas perhiasan emas yang dikenakan, dan pantangan buat wanita bila sedang haid.
Selain itu alas kaki harus dilepas, dilarang memotret dan mengenakan kain batik barong. Kendati "banyak prosedur" imogiri menawarkan nuansa tersendiri. Ramai dikunjungi. Apalagi pada malam Jumat Kliwon, hingga siang harinya dan malam Selasa Kliwon. Manusia tumpah ruah mencapai ribuan orang.
Maaf Raja yang terakhir dimakamkan di sini adl Sri sunan pakubuwono xii dari Surakarta pd tahun 2004
BalasHapus