Jendela Informasi - Mimpi besar
Sarah menjadi pilot sempat terkungkung dalam pakem-pakem ketat budaya dan
sosial bangsa Arab. Meski lahir di Bandung pada 19 Juli 1997 lalu, Sarah
dibesarkan di Jeddah, Arab Saudi. Anak kedua dari empat bersaudara itu terlahir
dari ibu yang warga negara Indonesia, serta ayah yang berkebangsaan Arab Saudi.
Di Arab
Saudi peran kaum perempuan masih terbatas. Boleh punya profesi, tapi tertentu.
Seperti guru atau petugas medis di rumah sakit, itu pun juga terbatas, misalnya
dokter gigi, dokter anak, atau dokter kandungan.
Masyarakat
di Arab Saudi, menurut Sarah, sangat menjaga aturan mahram-nya. Saat bersekolah
pun, ia tak berinteraksi banyak dengan siswa laki-laki karena antara dua gender
tersebut dipisahkan. Sempat gamang dengan mimpinya, tetapi sejak menuntaskan
sekolah menengah di SMA Al Haramain International School Embassy Kingdom of
Saudi Arabia Jakarta, keinginan tersebut kembali menguat.
Orangtua
Sarah merupakan pengusaha jasa katering di Jeddah. Akan tetapi, sang mama,
Neneng Marwati Darodjat, adalah orang Indonesia dan berasal dari Bandung. Ini
membuat mereka sekeluarga sering bolak balik Jakarta-Jeddah baik untuk urusan
bisnis atau lainnya. Mereka juga memutuskan agar anak-anaknya bersekolah di SMA
Kedutaan Arab Saudi di Jakarta.
Setelah
bersekolah di Indonesia, Sarah lebih berani mengungkapkan cita-citanya pada
keluarga. Mudah ditebak, sang ayah menolak keras keinginan Sarah menjadi pilot.
Sampai Sarah masuk BPA (Bandung Pilot Academy) pun, ayahnya masih tidak setuju.
Tapi, pelan-pelan ayahnya melihat kalau Sarah serius dan punya kemampuan jadi
pilot. Akhirnya disetujui dan didukung.
Sudah hampir
dua tahun Sarah tinggal di Bandung untuk sekolah pilot. Namun, ia masih
terkendala dengan bahasa Indonesia. Saat berbicara, pelafalan dan logatnya
masih kental dengan bahasa Arab. Kendati demikian, ia mengaku sangat paham
bahasa Indonesia. Sarah mengerti bahasa Indonesia, bahasa Sunda juga. Itu kan
bahasa ibu, dikenalkan sama Mama setiap hari. Jadi Sarah pasti bisa mengerti.
Namun, belum terbiasa.
Di antara
kadet calon pilot BPA batch 12, Sarah adalah satu-satunya wanita. Meski berada
di antara laki-laki, Sarah menunjukkan kemampuan menyesuaikan diri dengan baik.
Maklum saja, selama duduk di jenjang sekolah, ia nyaris tak berinteraksi dengan
lawan jenis. Tapi saat sekolah pilot, justru kebalikannya, ia harus bergabung
dan membaur dengan rekan-rekan prianya sesama kadet pilot.
Sudah lebih
dari setahun Sarah menjadi kadet pilot di BPA. Banyak pengalaman suka dan duka
yang ia alami. Yang tak akan mudah dilupakan tentu saja saat ia terbang solo. Setelah
beberapa bulan belajar teknik dasar dan terbang bersama flight instructor, setiap kadet pilot harus terbang solo.
Sarah
melakukannya di Bandara Nusawiru, Pangandaran, tahun lalu. Pengalaman terbang
pertamanya itu membuat Sarah kembali jatuh cinta dan bersyukur karena terus
memeluk mimpinya tersebut. Saat Sarah terbang solo itu, masya Allah, laut dan
langitnya indah sekali. Sarah bisa melihat awan dari jarak sangat dekat, kagum
dengan ciptaan Allah. Saat itu pula, Sarah sangat yakin Allah itu ada, Maha
Akbar. Saat di atas, hanya Allah sebagai penolong.
Rupanya,
ada tujuan lain di balik keseriusannya menjadi pilot. Ia ingin jadi orang yang
menerbangkan jemaah haji. Ada kerabat yang punya travel haji dan umrah. Sarah
pernah bilang mau jadi yang antar-antar jemaah di Jeddah. Lalu kerabat Sarah bilang,
Sarah jadi pilot saja biar bisa menerbangkan jemaah haji dari Indonesia ke
Jeddah.
Dengan
kisah hidupnya ini, Sarah menepis anggapan kaum perempuan tidak dapat
berkompetisi sejajar dengan laki-laki. Menurut dia, semua makhluk Tuhan
diciptakan sejajar, asal diberikan kesempatan. [Source Image : Instagram, Source Article : PRM/12/03/2017]
Mantap :D
BalasHapusTerima kasih banyak Telkomsel atas kunjungannya dan bravo untuk "jajanan online"-nya.
BalasHapus