Jendela Informasi - Memang tidak mudah bagi para orangtua ketika mengetahui buah
hatinya memiliki kekurangan yang tampaknya sulit dikoreksi. Menjadi orangtua yang hebat itu memang
dibutuhkan mental yang luar biasa, di antaranya harus memiliki kesabaran dan
kesediaan menerima anak apa adanya. Setiap anak tidak pernah pesan terlahir
dengan kekurangan. Jika mereka diminta memilih, mungkin mereka sangat
menginginkan terlahir sebagai individu yang sempurna, baik lahir maupun batin. Lantas bagaimana cara berdamai
dengan keterbatasan anak?
Sebelum keluarga memutuskan untuk menyekolahkan anak ke
jenjang yang lebih tinggi, langkah yang terbaik adalah menerima anak apa adanya
oleh kedua orangtuanya. Bukan oleh ibu saja, tetapi juga ayahnya. Dengan
keterbatasan yang dimilikinya saja, dapat menjadi potensi bagi anak menjadi kurang percaya
diri. Hal itu akan semakin buruk jika terjadi penolakan dari ayah yang seharusnya
dapat memperkuat citra positif pada diri anak. Perlu diketahui, anak-anak yang
memiliki keterbatasan
biasanya mereka juga memiliki perasaan yang cukup peka terhadap reaksi-reaksi
emosi yang terada di
sekelilingnya.
Adalah cukup
bijaksana jika kita sebagai orangtua untuk melihat keunggulan anak sebagai pintu arah masa depannya. Apabila usianya yang sudah beranjak remaja,
misalnya 16 tahun,
keputusan melanjutkan ke jenjang pendidikan harus lebih fokus dan jangan salah
arah. Intinya harus beranjak dari keunggulan serta minat anak dan bukan dari
kelemahannya.
Apakah harus SMK atau SMA? Keputusan itu harus sejalan
dengan tujuan akhir apa yang dapat dicapai sesuai dengan kemampuan anak. Jika Anda dan keluarga memutuskan
untuk mendaftarkan ke SMA yang bersifat umum dan berharap anak dapat
melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, harus dipikirkan ulang apakah anak
akan mampu mengikuti proses pembelajaran yang sifatnya sangat akademis. Akan tetapi, jika Anda bermaksud mengasah keterampilan anak dari
segi keunggulan yang dimilikinya, sebaiknya didaftarkan ke SMK yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
Adapun IQ atau intelligence quotient merupakan satuan ukuran
dari hasil tes inteligensi. Pengukuran IQ tidak sama sifatnya dengan pengukuran
ilmu alam. Inteligensi adalah keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan
bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara
efektif. Oleh karena itu, apa yang diukur dalam tes psikologi kebanyakan tidak
dapat diamati atau ditangkap melalui pancaindra. Misalnya, perasaan, motivasi,
sikap, dan penyesuaian diri atau minat. Pada awalnya, IQ masih dapat
berubah-ubah yang kemudian menjadi lebih stabil di masa dewasa. Perubahan IQ
dapat disebabkan adanya perubahan dalam pendidikan yang sesuai, kesiapan
menerima suatu pendidikan tertentu, dan iklim psikologis dalam keluarga.
Dengan demikian, kemampuan anak itu berbeda-beda. Selain
kemampuan akademik, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Orangtua
diharapkan mampu mengenali pencapaian
lain yang disebut sebagai kecerdasan majemuk atau multiple intelligences.
Dengan memahami adanya kecerdasan majemuk pada diri anak, akan memudahkan
orangtua atau guru menggali kecerdasan anak di luar kecerdasan yang bersifat
skolastik. Kecerdasan majemuk itu
antara lain kecerdasan
musikal, gerak tubuh, interpersonal,
intrapersonal, kecerdasan naturalis, kecerdasan linguistik, visual spasial, dan
kecerdasan logika matematika.
Seorang ahli, Schmidt, menyebutkan bahwa anak-anak dengan
kecerdasan gerakan tubuh akan
senang melakukan berbagai aktivitas dengan tubuhnya. Pada masa depannya,
anak-anak ini dapat saja membangun karier, sebagai penari, atlet, koreografer,
aktor, guru olah raga, pelatih drama, pemain pantomim, atau mekanik pesawat
terbang.
Semoga
tulisan mengenai cara berdamai
dengan keterbatasan anak ini dapat memberikan inspirasi bagi keluarga
untuk berkeputusan yang terbaik sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak.
Posting Komentar untuk "Cara Berdamai Dengan Keterbatasan Anak"
Berilah komentar yang sopan dan konstruktif. Diharap jangan melakukan spam dan menaruh link aktif. Terima kasih.