Membaca Membuka Jendela Dunia
Anak normal
belajar membaca huruf Latin pada usia 7 tahun, tapi Gus Wahid, tokoh kita ini,
baru mengenal huruf Latin dalam usia 15 tahun. Sebenarnya hal ini tidak mengherankan
karena putra pertama dari 10 bersaudara yang lahir pada tanggal 1 Juni 1914 ini
memperoleh hampir seluruh pendidikannya di pesantren. Ayahnya adalah K.H.
Mohammad Hasyim Asy'ari, pendiri NU dan pondok pesantren Tebu Ireng Jawa Timur
yang juga adalah Pahlawan Kemerdekaan Indonesia.
Terlambat
mempelajari huruf Latin tidak berarti Gus Wahid terlambat belajar. Sejak usia 5
tahun ayahnya telah mengajarkannya mengaji. Usia 7 tahun ia sudah bisa membaca
kitab fiqih yang cukup sulit bagi anak seusianya. Karena pada masa itu Belanda
tidak mengizinkan buku-buku pengetahuan berhuruf Latin, maka kebanyakan
anak-anak yang mendapat pendidikan di pesantren hanya bisa membaca huruf Arab
saja. Gus Wahid menyadari bahwa belajar agama Islam dengan buku-buku berbahasa
Arab saja tidak cukup. Ia lalu mulai belajar membaca huruf Latin. Mula-mula
bahasa Belanda, kemudian bahasa Arab dan Inggris. Setelah faham huruf Latin Gus
Wahid mulai membaca segala buku dan surat kabar yang ada. Akhirnya ia menyadari
bahwa jendela dunia akan terbuka lebar baginya melalui membaca. Ia lalu juga
mendalami kesusastraan Arab. Namun kegemaran membacanya ini telah menyebabkan
Gus Wahid harus memakai kacamata dalam usia muda.
Koran Masuk Pesantren
Setelah
naik haji dan setahun belajar di Mekah, Wahid kembali pada tahun 1933 untuk
mengajar di pesantren Tebu Ireng. Kebetulan ia diberi kesempatan untuk duduk di
PB NU bagian Maa'rif (pendidikan). Kesempatan ini digunakannya untuk
memperjuangkan cita-citanya meningkatkan pesantren sehingga para santri sejajar
dengan kaum intelektual.
Menyadari
bahwa kekurangan para santri kita jika dibandingkan dengan para intelektual
barat adalah dalam bidang pengetahuan umum, maka Wahid Hasyim memutuskan untuk
mengembangkan bidang yang satu ini. Selain memperdalam agama Islam dan belajar
huruf Latin, para siswa pesantren juga diwajibkan belajar berpidato, berorganisasi
dan membaca koran serta buku-buku yang berisi pengetahuan umum. Untuk itu
dibentuk perpustakaan pesantren dan sebagai wadah praktek berorganisasi
didirikan IPPI (Ikatan Pelajar-Pelajar Islam).
Namun
perubahan besar dalam pendidikan pesantren ini mendapat tentangan keras, baik
dari pemerintah Belanda maupun orangtua siswa yang berpendirian konservatif.
Orang tua para santri bahkan sampai mengancam akan menarik anak-anak mereka
dari pesantren Tebu Ireng. Tapi bukan Wahid, kalau ia terus mundur. Dengan
gigih ia merintis usaha pembaharuan pesantren sampai akhirnya berhasil
mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri yang dikenal sebagai IAIN (Institut
Agama Islam Negeri) itu, sekarang UIN (Universitas Islam Negeri).
Di tengah
kesibukannya berjuang dan mendidik itulah Wahid bertemu dengan Soleha, putri
dari KHM Bisri, seorang ulama besar dan salah satu pendiri Nahdhatul Ulam.
Dalam usia 25 tahun ia menikahi gadis Jombang yang waktu itu baru berusia 15
tahun. Soleha memberikannya 6 orang anak, 4 putra dan 2 orang putri. Salah satu
putranya adalah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mantan Presiden RI ke 4.
5 Kali Jadi Menteri
Perjuangannya
meningkatkan mutu pesantren menyebabkan Wahid Hasyim juga terpilih sebagai
ketua MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) yang merupakan majelis tertinggi
agama Islam pada waktu itu. Kemudian ia juga harus menggantikan kedudukan
ayahnya yang meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 sebagai pengasuh
pesantren Tebu Ireng. Kedudukannya sebagai ketua MIAI itulah yang kemudian
mengantarnya ke pusat perjuangan bangsanya di jaman Jepang sebagai anggota Cuo
Sangi In, Dokuritsu Jumbi Cosakai dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia). Sebagai salah seorang dari 9 orang yang menandatangani Piagam
Jakarta, Wahid Hasyim juga ikut meletakkan konsep dasar negara kita. Di sini ia
juga menunjukkan toleransinya yang besar dengan umat agama lain dengan
kesediaannya menghapuskan kalimat: "... dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluknya," dari piagam penting tersebut.
Perjuangan
K.H. Abdul Wahid Hasyim memang tidak terbatas pada membela agamanya saja, tapi
juga membela kemerdekaan bangsanya. Kepemimpinannya yang menonjol di kalangan
pemuda' sangat besar pengaruhnya bagi pengintegrasian kelasykaran golongan
Islam ke dalam TRI (Tentara Republik Indonesia) yang sekarang dikenal sebagai
TNI. Ia adalah salah satu pendiri Hisbulah yang kemudian diangkat menjadi penasehat
politik Panglima Besar Sudirman. Ia ikut dalam mengatasi pemberontakan PKI di
Madiun dan peristiwa clash ke 2 dengan Belanda bulan Desember 1949.
Dengan
sumbangsihnya yang begitu besar dalam membawa bangsa kita ke pintu gerbang
kemerdekaan, sudah selayaknya ia lalu dipercaya menjadi menteri sebanyak 5 kali
setelah kita merdeka. Ia pernah 2 kali dipercaya sebagai Menteri Negara,
masing-masing Menteri Negara dalam Kabinet Presidentil I (1945) dan Menteri
Negara Kabinet Syahrir (1946-1947). Juga 3 kali menjabat sebagai Menteri Agama
masing-masing pada Kabinet RIS (1949-1950), Kabinet Natsir (1950-1951) dan
Kabinet Sukiman (1951-1952).
K.H. Abdul
Wahid Hasyim menggunakan kesempatan sebagai Menteri Agama untuk meletakkan
dasar-dasar administratif, organisatoris dan kebijaksanaan suatu Kementerian
Agama yang khas Indonesia, ia menegakkan wewenang peradilan Agama. Langkah lain
yang diambilnya dan mendapat sambutan dari masyarakat Islam adalah memperkokoh
dan mengembangkan sekolah-sekolah agama Islam tanpa subsidi pemerintah di seluruh
tanah air. Sebagai seorang yang mempunyai rasa toleransi beragama yang besar,
ia juga merintis hubungan saling menghormati dan menghargai antara umat beragama
yang menciptakan suasana kerukunan agama di tanah air kita. Ia juga terus
memperdalam pengetahuannya dengan mengundang ahli sastra Arab untuk berdiskusi
dan mendengarkan pembacaan sajak-sajak berbahasa Arab.
Kepergian yang Tiba-tiba
Setelah
tidak aktif dalam pemerintahan lagi, K.H. Abdul Wahid Hasyim kembali ke
partainya NU. Ia aktif berceramah di daerah-daerah untuk membantu NU dalam
Pemilu 1955.
Dalam
rangka berceramah itu pula, suatu hari, di pagi yang cerah tanggal 19 April
1953, Wahid berangkat ke Sumedang. Di jalan Cimindi, dekat Bandung, mobil yang
ditumpanginya selip. Tubuhnya yang terlempar ke luar segera dilarikan ke rumah
sakit Cimahi oleh penduduk setempat. Saat itu tak ada seorangpun yang tahu
siapa orang yang sedang tak sadarkan diri itu. Mereka menduga ia adalah seorang
Cina. Namun setelah K.H. Wahid Hasyim melafazkan: "Laa illaaha
ilallah..." barulah mereka sadar bahwa dugaan mereka salah. Dan betapa
terkejutnya mereka setelah mengetahui bahwa ia adalah Kyai Haji Wahid Hasyim,
ulama besar pemimpin NU, bekas menteri kabinet-kabinet RI.
Baca juga : Jack Ma, Founder Alibaba Group
Pada pukul
10.30 hari itu, seorang pahlawan nasional telah gugur. Jenazahnya dibawa ke
Jakarta untuk disemayamkan dengan mendapat penghormatan besar dari para
pemimpin dan masyarakat, khususnya umat Islam, ia dimakamkan di makam
keluarganya di Tebu Ireng, Jombang.
Kepergian K.H.
Abdul Wahid Hasyim memang terlalu tiba-tiba. Ia belum lagi sempat menyaksikan
pesta-pora Pemilu dan partisipasi NU di dalamnya yang masuk 4 besar dalam
Pemilu 1955 itu. Namun jerih payahnya itu tak sempat dinikmatinya. Kini hanya
pemikiran dan perjuangannya yang dapat kita rasakan dan tetap terukir di hati.
Pemerintah pun menganugerahinya gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan
SK Presiden RI No. 206, Tahun 1964, tanggal 24 Agustus 1964.
Posting Komentar untuk "Biografi K.H. Abdul Wahid Hasyim"
Berilah komentar yang sopan dan konstruktif. Diharap jangan melakukan spam dan menaruh link aktif. Terima kasih.