mungkin aku
kini akan berbisik saja, pada angin,
pada debu
yang berpusing, pada semut yang berderet
di jendela,
pada burung yang melintas di udara. aku sudah lelah
berteriak, mengingatkanmu akan riwayat
ular dan
buaya, yang sesekali menjelma tikus dan
musang di
lipatan pakaian dinasmu. mungkin daun-daun
ayat itu
akan layu, dan runtuh bagai helai-helai daun jambu.
mungkin
kini aku akan bergumam saja,
membiarkanmu
melipatgandakan angka-angka,
yang kau
curi dari anggaran belanja negara, dan
menumpuk di
rekening istri simpananmu. ah, ada
pula yang
kau sembunyikan di kardus berdebu. bagai
igauan
ilalang pada embun, bagai igauan ketela pada
belatung,
aku akan menghitung diam-diam, sampai
saatnya
darahku mendidih dan kepal tanganku
menghantam
ke wajahmu. lalu aku akan kembali
bergumam
saja, membiarkanmu berlalu dengan
wajah
lembam dan membiru.
ah, siapa
akan mendengar detak jantungku, galau
hatiku,
kecamuk otakku. mungkin aku sisipus yang
gigih
mendorong batu ke atas bukit itu. mungkin aku
bilal yang
terus berseru meski dada ditimpa batu,
sampai
saatnya batu berbalik menimpuk wajahmu
yang dungu.
Ahmadun
Yosi Herfanda, sastrawan, lahir di Kaliwungu, 17 Januari 1958. Ia dikenal
sebagai penyair religius-sufistik, tapi juga banyak menulis cerpen, kolom, dan
esai sastra. Ia pernah meraih Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2008) untuk buku
puisi Ciuman Pertama untuk Tuhan.
Kini, mengajar creative writing dan academic writing di sebuah perguruan
tinggi swasta di Serpong.
Posting Komentar untuk "Aku sudah Lelah Berteriak"
Berilah komentar yang sopan dan konstruktif. Diharap jangan melakukan spam dan menaruh link aktif. Terima kasih.