Menjelang akhir Ramadan, masyarakat di Indonesia semakin terbiasa mendengar kata "mudik" dalam percakapan sehari-hari. Mudik artinyya pulang kampung, mereka yang mudik bisa dipastikan akan merayakan hari rayanya di kampung halaman.
Mudik tidak tercatat dalam kitab agama mana pun karena kegiatan ini diciptakan oleh kebiasaan turun-temurun yang mengakar.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran bandung juga pakar bidang kajian budaya, Dadang Suganda mengatakan, mudik adalah seratus persen budaya atau tradisi. Aspek religi dalam mudik hanya tampil dalam kegiatan silaturahmi yang menyertainya. Mudik sudah berlangsung di Indonesia sejak dahulu. Dalam perkembangannya, kegiatan itu condong pada seremoni kegembiraan, juga terselip aspek sosial untuk unjuk gjgi.
Di Indonesia, banyak versi mengenai sejarah mudik baik sebagai penyebutan maupun aktivitas. Belum jelas siapa yang memakainya pertama kali dan siapa yang memopulerkannya. Akan tetapi, sastrawan Universitas Indonesia, Pamusuk Eneste pernah menulis dalam milis Baraya Sunda bahwa kata mudik sudah tercatat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta (1976).
Dalam pendapat sastrawan serta pelopor kajian filsafat di Indonesia Jakob Sumardjo, kata "mudik" mengartikan "hulu". Pada zaman pramodern, hanya dikenal komunikasi sosial lewat sungai. Hampir semua hunian tua di Indonesia selalu berada di tepi sungai. Karena sungai merupakan sarana komunikasi dan transportasi yang vital, dikenal adanya istilah arah hulu dan hilir, mudik, dan muara. Perempuan adalah hulu adalah rumah adalah kampung halaman. Lelaki adalah hilir adalah luar adalah asing atau rantau.
Menurut dia, pada zaman purba, di Indonesia ada upacara setiap tahun yang bermakna manunggal dengan nenek moyang sebuah komunitas. Dalam upacara-upacara tahunan semacam itulah seluruh penduduk kampung kumpul bersama, tua atau muda atau kanak-kanak. Mereka yang pergi merantau menyempatkan pulang untuk berkumpul bersama untuk saling merekatkan kembali.
Ketika agama Islam masuk dan dipeluk oleh bangsa Indonesia, menurut dia, sisa-sisa ritus primordial itu tidak dilenyapkan karena sudah merupakan bagian dari archetype budayanya. Kalau tidak melakukan, mereka merasa ada yang hilang dari bagian dirinya sebagai kelompok.
Padanan untuk itu adalah bulan Puasa bagi umat Islam atau puncaknya pada Lebaran. Kegiatan yang mendorong masyarakat untuk kembali pulang dan mempererat ikatan emosional dengan keluarganya adalah mudik.
Dalam pandangan Guru Besar FPIPS Universitas Indonesia Elly Malihah, mudik bisa menjadi modal sosial dalam tatanan masyarakat Indonesia. Di dalam kegiatan mudik ada hal yang melekatkan hubungan dengan sesama, ada pengulangan kegiatan, nilai kebersamaan, ikatan desa dan kota, juga ada ikatan antara nilai dunia dan ukhrawi.
Mudik dengan segala dinamikanya menyimpan potensi untuk, membangun nilai dalam masyarakat yang tengah berada di gejolak modernitas. Bahkan, mudik bisa menjadi transfer ekonomi yang menjanjikan.
Pendapat itu disepakati dosen Ekonomi Pembangunan FEB Unpad Ferry Hadiyanto. Dalam dua bulan terakhir, Bank Indonesia menambah uang beredar tak kurang dari Rp 160 triliun untuk diturunkan di seluruh ATM serta kebutuhan membayar THR.
Ada transaksi yang sangat sangat besar dalam dua bulan ini, Ramadan dan Syawal. Penyebabnya satu, ada peningkatan permintaan (pembelian). Salah satunya untuk memenuhi kebutuhan mudik.
Mudik pun mencetuskan persoalan sosial lain. Misalnya, kemacetan lalu lintas. Agar mudik lancar dibutuhkan kerja sama tak hanya petugas sebagai pelaksana teknis lapangan dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan, tetapi juga kesadaran setiap pemudik.
Selamat mudik dan berhari raya bersama keluarga.
Posting Komentar untuk "Menilik Mudik Dalam Kacamata Budaya"
Berilah komentar yang sopan dan konstruktif. Diharap jangan melakukan spam dan menaruh link aktif. Terima kasih.