Puasa dalam perspektif Islam mengandung berbagai pesan luhur bagi kemanusiaan. Dengan berpuasa umat Islam diajak berempati terhadap penderitaan kaum papa. Dengan puasa kaum Muslimin diajarkan untuk hidup sederhana, dan lewat puasa pula umat Islam dituntut untuk hemat.
Setelah ritual puasa berakhir umat Islam akan menghadapi ritual Lebaran atau Hari Idul Fitri yang seringkali diartikan sebagai momen pembebasan. Lebaran bagi kaum muslimin adalah gerbang menuju kesucian diri dan pengagungan terhadap nilai kemanusiaan, akan tetapi sering kali Lebaran yang dipraktikkan kaum Muslimin telah berubah dari makna hakiki Lebaran itu sendiri.
Hari Lebaran atau Idul Fitri yang seharusnya bermakna sebagai penyucian diri dari dosa telah beralih fungsi menjadi ritual pamer dan pengagungan terhadap materalisme. Hal ini dibuktikan dengan penuhnya tempat-tempat perbelanjaan oleh manusia.
Di detik-detik akhir menjelang Lebaran, mal-mal semakin padat pengunjung. Bertolak belakang dengan suasana masjid-masjid yang makin ditinggalkan umat.
Lebaran yang seharusnya menjadikan kaum Muslimin menjadi pribadi yang lahir kembali dalam kesucian dikotori oleh budaya konsumerisme yang telah mereduksi makna sosial Lebaran itu sendiri. Pada titik inilah makna Lebaran menjadi kabur dan tunduk pada kapitalisme.
Di saat Lebaran, kita menyaksikan banyak kaum Muslimin yang terjebak pada upaya menonjolkan berbagai hal glamor yang dimilikinya sehingga lupa bahkan melupakan berbagai penderitaan yang dialami kaum duafa. Lebaran yang seharusnya mengingatkan kita pada kepedulian terhadap kaum papa akhirnya lenyap akibat sebagian kita lebih asyik masyuk dengan berbagai kegiatan pamer.
Kaum Muslimin tampaknya harus mendefinisikan ulang makna Lebaran, sehingga tidak menjadikan kita pribadi-pribadi yang alfa dan menjadi korban dari "kejahatan" kapitalisme yang membonceng ritual keagamaan demi kepentingan pemasaran produknya.
Jika kita mau sedikit berefleksi apakah momentum Lebaran memang mengharuskan umat manusia menjadi pribadi yang konsumeristik yang menghabiskan semua pengeluaran demi memenuhi berbagai kebutuhan sehingga pasca Lebaran membuat sebagian besar kita bingung bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Melihat realitas demikian sudah seharusnya makna Lebaran didefinisi ulang. Kalangan agamawan baik itu ulama, dai, ustaz atau santri harus mengantispasinya. Jika tidak, boleh jadi agama yang awalnya berfungsi sebagai alat memanusiakan manusia akan tereduksi menjadi hamba kapitalisme yang anti terhadap kemanusiaan.
Dalam melakukan pembongkaran itu kalangan agamawan harus mencari dasar keagamaan sehingga pembongkaran yang dilakukan berada dalam perspektif keagamaan. Agama diturunkan Tuhan sebagai bentuk perlawanan terhadap berbagai ketimpangan yang terjadi di muka bumi.
Dalam konteks tersebut kehadiran agama di muka bumi dalam npaya menjadi solusi atas berbagai problem sosial. Kalangan agamawan harus turun ke tengah-tengah masyarakat untuk menganalisis dan memberi solusi atas berbagai problem sosial yang dialami masyarakat.
Inilah sesungguhnya peran organik kalangan agama dalam upaya membantu umat menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Jika hal ini tidak lagi dilakukan, mungkin kita dapatkan orang yang tidak percaya agama.
Bila masalah sosial itu bisa teratasi, ritual Lebaran tidak lagi dirasakan sebagai kemenangan bagi kaum yang memiliki kelebihan harta melainkan juga menjadi kemenangan bagi kalangan orang tak punya.
Kita tidak akan menyaksikan lagi orang kaya yang sombong yang memamerkan kekayaannya tanpa peduli nasib saudaranya yang miskin. Sedangkan bagi orang miskin. kita tidak lagi melihat mereka memaksakan berlebaran dengan mencuri. Atau menyaksikan orang miskin yang tak mampu berlebaran dengan baju baru, lantas gantung diri akibat malu. Semoga semua itu tidak lantas menjadi hal yang utopis. ***
Posting Komentar untuk "Mari Mendefinisi Ulang Makna Hari Idul Fitri"
Berilah komentar yang sopan dan konstruktif. Diharap jangan melakukan spam dan menaruh link aktif. Terima kasih.