Beberapa waktu lalu diluncurkan biografi salah seorang tokoh berpengaruh dalam dunia televisi, khususnya dan wirausaha dalam lingkup yang lebih luas. Buku yang mencoba mengurai perjalanan hidup tokoh dari orang biasa menjadi luar biasa. Inilah bukti nyata bahwa pendidikan merupakan mata uang yang tidak mengenal batas zaman maupun wilayah.
Namun, satu hal yang sering terlupakan ketika membincangkan pendidikan adalah keterpaduan ragam kecerdasan yang dimiliki peserta didik. Jika Howard Gardner sudah dengan gamblangnya mengurai kecerdasan majemuk yang dimiliki manusia, lain halnya dengan Paul G Stolzt yang mengurai tentang kecerdasan manusia dari sisi "kemalangan" atau lebih dikenal dengan adversity quotient (AQ).
Kita sudah biasa dengan istilah IQ, bahkan SQ. Lantas adakah sesuatu yang dapat diambil dari AQ terkait pengembangan pendidikan berbasis karakter budaya bangsa?
Dalam aktivitas pembelajaran kita sering mendengar cerita bagaimana perjalanan seorang Thomas Alfa Edison, si penemu lampu bohlam listrik, yang ternyata memang mempunyai karakteristik climber yang sangat kuat. Hal itu dibuktikan dengan kegagalan ratusan kali yang dialaminya selama proses berlangsung. Sebagaimana Stolz menklasifikasikan AQ ini serupa dengan penaklukan Everest, yaitu climber (si pendaki), camper (si pekemah), quitter (yang berhenti-golongan pecundang). Secara kasat mata, teranglah bahwa tiga golongan ini juga yang turut membentuk karakter peserta didik.
Ada peserta didik yang memutuskan berhenti mencari cara untuk mampu di mata pelajaran tertentu, cukup dengan mengatakan tidak bisa. Sedikit berbeda dengan si pekemah, peserta didik merasa puas ketika dia mengerti atau unggul di salah satu pelajaran tertentu. Sangat berlainan dengan cara peserta didik berkarakter climber yang tentu dicirikan dengan terus mencoba mencari tahu tentang hal apapun yang terkait pelajaran yang belum berhasil dipahami atau dituntaskan.
Sudah barang tentu menjadi kelaziman, ketika guru sebagai pendidik dituntut untuk menjadi pembimbing peserta didik agar lebih tahan terhadap kemalangan. Pemberian tugas atau upaya memotivasi peserta didik harus memiliki korelasi positif dengan upaya peningkatan AQ. Kemampuan dan kapasitas "ketahanmalangan" bukan hanya disampaikan dalam tataran lisan, tetapi dalam aktivitas sehari-hari. Penajaman AQ bukan sekedar diserukan pada saat pembelajaran konseling, melainkan dicontohkan oleh siapapun yang berada di lingkungan peserta didik. Terpenting segera menyadarkan bahwa pendidikan bukan sesuatu yang berjalan mulus tanpa hambatan atau tantangan.
Jika di telusuri lebih jauh, tidak menutup kemungkinan bahwa AQ bisa diarahkan sebagai penguatan karakter peserta didik tanpa selalu harus dicantumkan dalam silabus atau perangkat pembelajaran lainnya. Semoga dengan semakin meningkatnya kapasitas "ketahanmalangan" akan tercipta kualitas manusia Indoneisa seutuhnya yang berkarakter.
Namun, satu hal yang sering terlupakan ketika membincangkan pendidikan adalah keterpaduan ragam kecerdasan yang dimiliki peserta didik. Jika Howard Gardner sudah dengan gamblangnya mengurai kecerdasan majemuk yang dimiliki manusia, lain halnya dengan Paul G Stolzt yang mengurai tentang kecerdasan manusia dari sisi "kemalangan" atau lebih dikenal dengan adversity quotient (AQ).
Kita sudah biasa dengan istilah IQ, bahkan SQ. Lantas adakah sesuatu yang dapat diambil dari AQ terkait pengembangan pendidikan berbasis karakter budaya bangsa?
Dalam aktivitas pembelajaran kita sering mendengar cerita bagaimana perjalanan seorang Thomas Alfa Edison, si penemu lampu bohlam listrik, yang ternyata memang mempunyai karakteristik climber yang sangat kuat. Hal itu dibuktikan dengan kegagalan ratusan kali yang dialaminya selama proses berlangsung. Sebagaimana Stolz menklasifikasikan AQ ini serupa dengan penaklukan Everest, yaitu climber (si pendaki), camper (si pekemah), quitter (yang berhenti-golongan pecundang). Secara kasat mata, teranglah bahwa tiga golongan ini juga yang turut membentuk karakter peserta didik.
Ada peserta didik yang memutuskan berhenti mencari cara untuk mampu di mata pelajaran tertentu, cukup dengan mengatakan tidak bisa. Sedikit berbeda dengan si pekemah, peserta didik merasa puas ketika dia mengerti atau unggul di salah satu pelajaran tertentu. Sangat berlainan dengan cara peserta didik berkarakter climber yang tentu dicirikan dengan terus mencoba mencari tahu tentang hal apapun yang terkait pelajaran yang belum berhasil dipahami atau dituntaskan.
Sudah barang tentu menjadi kelaziman, ketika guru sebagai pendidik dituntut untuk menjadi pembimbing peserta didik agar lebih tahan terhadap kemalangan. Pemberian tugas atau upaya memotivasi peserta didik harus memiliki korelasi positif dengan upaya peningkatan AQ. Kemampuan dan kapasitas "ketahanmalangan" bukan hanya disampaikan dalam tataran lisan, tetapi dalam aktivitas sehari-hari. Penajaman AQ bukan sekedar diserukan pada saat pembelajaran konseling, melainkan dicontohkan oleh siapapun yang berada di lingkungan peserta didik. Terpenting segera menyadarkan bahwa pendidikan bukan sesuatu yang berjalan mulus tanpa hambatan atau tantangan.
Jika di telusuri lebih jauh, tidak menutup kemungkinan bahwa AQ bisa diarahkan sebagai penguatan karakter peserta didik tanpa selalu harus dicantumkan dalam silabus atau perangkat pembelajaran lainnya. Semoga dengan semakin meningkatnya kapasitas "ketahanmalangan" akan tercipta kualitas manusia Indoneisa seutuhnya yang berkarakter.
Posting Komentar untuk "Pentingnya Adversity Quotient (AQ) Dalam Proses Pembelajaran"
Berilah komentar yang sopan dan konstruktif. Diharap jangan melakukan spam dan menaruh link aktif. Terima kasih.