Ahmad Sanusi lahir di Cantayan, Cikembar, Sukabumi pada 18 September 1889. Putra Haji Abdurahim bin Haji Yasin dan Ibu Epok ini, mula-mula belajar agama kepada ayahnya. Pada 1903, ia nyantri ke berbagai pesantren di Sukabumi, Cianjur, Sukaraja, Tasikmalaya, dan Garut. Enam tahun kemudian, ia pergi ke Mekah dan kembali pada 1915. Di Mekah, selain belajar agama kepada ulama-ulama terkenal, dia juga berkenalan dengan pengurus Sarekat Islam. Ketika kembali ka Sukabumi menjadi penasihat SI di sana. Namun, tahun 1916 ia mengundurkan diri dari SI. Meskipun demikian, pemerintah kolonial pernah menangkapnya karena dituduh terlibat dalam Peristiwa Sarekat Islam Afdeling B di Cimareme. Karena tidak terbukti, ia dilepaskan kembali.
KH Ahmad Sanusi, yang dikenal sebagai Ajengan Cantayan, bersikap kritis terhadap perilaku menyimpang para birokrat (priyai). Misalnya soal membayar zakat fitrah dan mendoakan Dalem Sukabumi pada setiap Jumatan. Tahun 1922, ia mendirikan Pesantren Genteng sehingga dikenal sebagai Ajengan Genteng. Kharismanya dianggap menyaingi Patih sukabumi atau Dalem Jendol.
Sikap kritisnya dianggap merugikan pemerintah. Pada 1927, Ajengan Cantayan ditangkap dan ditahan di Batavia. Meski ditahan, pengaruhnya tetap besar. Ribuan pengikutnya berdatangan ke Batavia dengan membawa berbagai persoalan keagamaan. KH Ahmad Sanusi banyak menulis buku dalam Bahasa Sunda dan Melayu yang ditulis dengan huruf Arab dan Latin. Meskipun berada dalam tahanan, KH Ahmad Sanusi tidak padam semangatnya. Pada 1931, ia mendirikan Al-Ittihadyatul-Islamiyah (AII). Meskipun dikatakan bukan organisasi politik, AII berkembang menjadi organisasi sosial yang paling militan di Priangan.
Tahun 1932, KH Ahmad Sanusi dibebaskan dari penjara, namun tetap menjadi tahanan kota. Tahun 1934 KH Ahmad Sanusi diizinkan kembali ke Sukabumi tetapi bukan ke Genteng atau Cantayan. Akhirnya ia mendirikan Pesantren Gunung Puyuh. Sejalan dengan didirikannya AII, Sanusi menerbitkan majalah Al-Hidayatul Islamiyah, mendirikan sekolah AII School, sekolah dengan kurikulum modern.
Setelah 12 tahun dalam status tahanan pemerintah kolonial, KH Ahmad Sanusi dibebaskan. Ketika Jepang membekukan semua organisasi, KH Ahmad Sanusi tetap menjalankan AII. Akhirnya AII berganti nama menjadi Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII). AII juga memberikan pendidikan politik kepada para santrinya. Mereka diberi kebebasan untuk mengikuti diskusi-diskusi politik dari para tokoh pergerakan yang datang ke Sukabumi (banyak di antarannya adalah buangan politik pada masa akhir penjajahan Belanda) seperti Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Adam Malik, Sutan Syahrir, Dr Cipto Mangunkusumo, Karim Amarullah, dll. KH Ahmad Sanusi aktif pula dalam mendirikan pasukan sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor dan Sukabumi. Tahun 1944 ia diangkat menjadi anggota BPUPKI, bersama KH Abdul Halim.
Selanjutnya, pada masa RI, KH Abdul Halim dan KH Ahmad Sanusi diangkat sebagai anggota KNIP dan ikut hijrah ke Yogyakarta setelah perjanjian Renville. Di Yogyakarta, KH Abdul Halim menjadi pelopor berdirinya Universitas Islam Indonesia (UII).
Pada masa perang kemerdekaan, KH Abdul Halim diangkat menjadi Bupati Majalengka dan memimpin rakyat untuk melawan NICA. Dia juga diangkat menjadi panitia penggempuran Negara Pasundan. Rencana fusi antara PUI dan PUII terus dilakukan hingga masa kemerdekaan. Tanggal 5 April 1952, fusi dilakukan di Bogor. Lahirlah Persatuan Umat Islam (PUI). KH. Abdul Halim terpilih sebagai Ketua.
Tahun 1951 KH Abdul Halim terpilih sebagai anggota DPRD Tingkat I Jawa Barat dan tahun 1956 diangkat menjadi anggota Konstituante. Pada tahun-tahun berikutnya, kegiatan PUI banyak mendapatkan hambatan. Kondisi KH Abdul Halim semakin menurun dan pada tanggal 17 Mei 1962, meninggal dunia di Santri Asromo.
KH Abdul Halim aktif sebagai wartawan pula dan pernah menjadi pemimpin redaksi dan penanggung jawab majalah Soeara P.O, majalah As-Sjuro, majalah Pelita dan mengisi kolom "Roeangan Hadis" di majalah Soeara MIAI. Selain itu, ia menulis sebanyak sembilan buku. Dalam buku-bukunya, KH Abdul Halim berusaha menyebarkan pemikirannya yang penuh toleransi, menganjurkan untuk menjunjung tinggi akidah dan akhlak masyarakat dan tidak menolak untuk mengambil contoh kemajuan dari Barat.
Atasa segala jasa dan perjuangannya, KH Abdul Halim dan KH Ahmad Sanusi telah mendapat penghargaan sebagai Perintis Kemerdekaan dan Bintang Maha Putra Utama. Namun, mengingat jasanya jauh lebih besar, kiranya tidak berlebihan bila kedua ulama besar itu diangkat sebagai pahlawan nasional.
KH Ahmad Sanusi, yang dikenal sebagai Ajengan Cantayan, bersikap kritis terhadap perilaku menyimpang para birokrat (priyai). Misalnya soal membayar zakat fitrah dan mendoakan Dalem Sukabumi pada setiap Jumatan. Tahun 1922, ia mendirikan Pesantren Genteng sehingga dikenal sebagai Ajengan Genteng. Kharismanya dianggap menyaingi Patih sukabumi atau Dalem Jendol.
Sikap kritisnya dianggap merugikan pemerintah. Pada 1927, Ajengan Cantayan ditangkap dan ditahan di Batavia. Meski ditahan, pengaruhnya tetap besar. Ribuan pengikutnya berdatangan ke Batavia dengan membawa berbagai persoalan keagamaan. KH Ahmad Sanusi banyak menulis buku dalam Bahasa Sunda dan Melayu yang ditulis dengan huruf Arab dan Latin. Meskipun berada dalam tahanan, KH Ahmad Sanusi tidak padam semangatnya. Pada 1931, ia mendirikan Al-Ittihadyatul-Islamiyah (AII). Meskipun dikatakan bukan organisasi politik, AII berkembang menjadi organisasi sosial yang paling militan di Priangan.
Tahun 1932, KH Ahmad Sanusi dibebaskan dari penjara, namun tetap menjadi tahanan kota. Tahun 1934 KH Ahmad Sanusi diizinkan kembali ke Sukabumi tetapi bukan ke Genteng atau Cantayan. Akhirnya ia mendirikan Pesantren Gunung Puyuh. Sejalan dengan didirikannya AII, Sanusi menerbitkan majalah Al-Hidayatul Islamiyah, mendirikan sekolah AII School, sekolah dengan kurikulum modern.
Setelah 12 tahun dalam status tahanan pemerintah kolonial, KH Ahmad Sanusi dibebaskan. Ketika Jepang membekukan semua organisasi, KH Ahmad Sanusi tetap menjalankan AII. Akhirnya AII berganti nama menjadi Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII). AII juga memberikan pendidikan politik kepada para santrinya. Mereka diberi kebebasan untuk mengikuti diskusi-diskusi politik dari para tokoh pergerakan yang datang ke Sukabumi (banyak di antarannya adalah buangan politik pada masa akhir penjajahan Belanda) seperti Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Adam Malik, Sutan Syahrir, Dr Cipto Mangunkusumo, Karim Amarullah, dll. KH Ahmad Sanusi aktif pula dalam mendirikan pasukan sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor dan Sukabumi. Tahun 1944 ia diangkat menjadi anggota BPUPKI, bersama KH Abdul Halim.
Selanjutnya, pada masa RI, KH Abdul Halim dan KH Ahmad Sanusi diangkat sebagai anggota KNIP dan ikut hijrah ke Yogyakarta setelah perjanjian Renville. Di Yogyakarta, KH Abdul Halim menjadi pelopor berdirinya Universitas Islam Indonesia (UII).
Pada masa perang kemerdekaan, KH Abdul Halim diangkat menjadi Bupati Majalengka dan memimpin rakyat untuk melawan NICA. Dia juga diangkat menjadi panitia penggempuran Negara Pasundan. Rencana fusi antara PUI dan PUII terus dilakukan hingga masa kemerdekaan. Tanggal 5 April 1952, fusi dilakukan di Bogor. Lahirlah Persatuan Umat Islam (PUI). KH. Abdul Halim terpilih sebagai Ketua.
Tahun 1951 KH Abdul Halim terpilih sebagai anggota DPRD Tingkat I Jawa Barat dan tahun 1956 diangkat menjadi anggota Konstituante. Pada tahun-tahun berikutnya, kegiatan PUI banyak mendapatkan hambatan. Kondisi KH Abdul Halim semakin menurun dan pada tanggal 17 Mei 1962, meninggal dunia di Santri Asromo.
KH Abdul Halim aktif sebagai wartawan pula dan pernah menjadi pemimpin redaksi dan penanggung jawab majalah Soeara P.O, majalah As-Sjuro, majalah Pelita dan mengisi kolom "Roeangan Hadis" di majalah Soeara MIAI. Selain itu, ia menulis sebanyak sembilan buku. Dalam buku-bukunya, KH Abdul Halim berusaha menyebarkan pemikirannya yang penuh toleransi, menganjurkan untuk menjunjung tinggi akidah dan akhlak masyarakat dan tidak menolak untuk mengambil contoh kemajuan dari Barat.
Atasa segala jasa dan perjuangannya, KH Abdul Halim dan KH Ahmad Sanusi telah mendapat penghargaan sebagai Perintis Kemerdekaan dan Bintang Maha Putra Utama. Namun, mengingat jasanya jauh lebih besar, kiranya tidak berlebihan bila kedua ulama besar itu diangkat sebagai pahlawan nasional.
Posting Komentar untuk "Biografi KH Ahmad Sanusi (1889-1950)"
Berilah komentar yang sopan dan konstruktif. Diharap jangan melakukan spam dan menaruh link aktif. Terima kasih.